Diposkan pada Orific, Romance

Kita dan Yang Terakhir

images (1)

KITA DAN YANG TERAKHIR

“Hai, Rei!”

“Mengapa kakak menghubungiku lagi?”

“Apa kau ingin aku pergi begitu saja?”

“Bukankah itu yang sudah kakak lakukan?”

Kakak menggeleng. “Tapi aku sedang menghubungimu sekarang.”

Aku mulai menangis.

“Hei, mengapa kau menangis lagi? Bukankah—.”

“Jahat!”

“….”

“Kakak tau betul apa yang aku mau. Aku sudah bilang jangan menghilang! Jika sudah saatnya kakak pergi, katakan! Jangan menghilang! Sudah kubilang aku siap. Asal…, asal kakak mengatakannya dengan jelas. Tapi jangan tiba-tiba menghilang! Kupikir…, kupikir….” Aku terisak.

“Hei, maafkan aku. Maaf. Aku tidak bermaksud menghilang kemarin. Aku hanya….”

“Dia datang’kan? Aku tau. Kalian sedang menyiapkan pernikahan kalian, bukan? Aku tau.”

“Rei….”

“Kapan?”

“Rei….”

“Katakan saja kapan?!” Aku setengah menjerit. Aku sudah berusaha mati-matian untuk tidak meninggikan suaraku. Tapi seperti itulah suaraku terdengar akhirnya. Aku menyesal seketika karena sudah meneriaki lelaki itu.

“Dua bulang lagi.”

“Maret? Tanggal?”

“Aku tidak tau.”

“Jangan bohong! Aku tau itu sudah ditentukan.”

“Rei, kau tau aku tidak suka—.”

“Tanggal.”

Kakak terdiam. Dari layar ponselku, aku tau Kakak sedang menatapku dengan kasihan, tak tega, atau entahlah. Aku juga kesulitan untuk mengartikannya. Tapi Kakak menghela nafas sebelum akhirnya menjawab, “empat belas.”

*

*

*

“Kakaaaaak….”

“Bagaimana liburanmu?”

“Menyenangkan. Sangat.”

“Baguslah kalau kau menikmatinya.”

“Kakak, boleh aku cerita sesuatu?”

“Apa?”

“Sepertinya aku tertarik dengan seseorang.”

“Kau sedang ingin membuatku sakit hati, Rei?”

“Sakit hati bagaimana? Aku hanya mengatakan bahwa aku tertarik dengan seseorang.”

“Jangan cerita padaku! Cerita saja pada yang lain!” Kakak membuang mukanya. Enggan menatap layar ponselnya.

“Iih! Kakak! Dengarkan aku! Aku cuma mau cerita padamu saja.”

“Tidak.”

“Kakaaak…, kau benar-benar jahat. Aku memaksa.”

“Aku akan menutup telfonnya.”

“Tutup saja! Dan jangan pernah menghubungiku lagi!”

Sontak kakak memamerkan kepalan tangannya padaku. “Kau bisa?”

“Mengapa tidak?”

“Kau pasti akan menangis.”

“Itu bukan urusan kakak. Jadi, ceritanya aku mengajak seseorang saat liburanku kemarin.”

Dan Kakak benar-benar menutup teleponnya. Sial! Dia benar-benar sedang menguji kesabaranku. Dasar menyebalkan! Tidak adil.

Aku baru akan memejamkan mata karena malas larut dalam kekesalan. Tapi Kakak kembali menghubungiku.

“Mengapa meneleponku lagi?”

Kakak melirikku dengan kesal. Seharusnya, aku yang menatapnya seperti itu.

“Aku hanya tidak ingin kau menangis sekarang.”

“Aku tidak menangis, kok.”

“Cepat cerita.”

“Benar mau mendengarkan ceritaku?”

“Mau aku berubah pikiran?”

“Baiklah. Dengarkan aku dan berikan pendapat Kakak nanti. Sepertinya, aku mulai tertarik dengan seseorang. Memang belum sampai ke tahap menyukai karena aku baru ingin mengenalnya. Jadi kemarin, aku mengajaknya berlibur denganku. Aku sendiri tidak menyangka kalau dia mau kuajak pergi. Lalu….”

Aku pun bercerita panjang lebar, meski Kakak terlihat setengah hati mendengarkanku. Tapi aku tau ia tak punya pilihan lain saat ini selain mendengarkanku dengan baik. Seperti yang sudah biasa ia lakukan selama ini.

“Jadi, menurut Kakak dia menyukaiku tidak?”

“Aku tidak tau.”

“Kakak, aku serius tanya. Sebagai sesama laki-laki, dimata Kakak bagaimana menurut Kakak sikapnya itu? Dia menyukaiku atau tidak?”

“Aku benar-benar kesal mendengar ceritamu dan tidak ingin memberi pendapat apapun. Kau tau? Hatiku terluka.” Kakak menyentuh dadanya dan memasang wajah sedih.

Aku mencibir. “Bahkan kau lebih membuatku terluka karena akan segera menikah.”

“Rei….”

“Aku tau. Aku tau. Maaf. Ini sudah bukan saatnya menyesal. Aku sudah memberi jawaban.”

“Jika saja saat itu kau menyetujui….”

“Sudah jangan dibahas! Kakak tau itu pendapat yang masing-masing dari kita tidak seorang pun bisa mengalah. Tidak untuk aku ataupun kakak. Aku paham. Meski aku menyesal, hal itu tetap tidak akan membuat kita bisa bersama.”

Kakak menatapku nanar. Aku dan Kakak sama-sama sadar salah satu pondasi dasar dari sebuah hubungan yang lebih serius itu tak bisa kami samakan dan kami juga paham bahwa hal itu juga tak bisa dipaksakan.

*

*

*

“Ada apa, Rei?”

“Bolehkan aku menangis hari ini, Kak.”

“Apa yang terjadi?”

“Aku tidak tau harus bercerita pada siapa lagi.”

“Ceritakan apa yang terjadi?”

Suaraku mulai tercekat. “Pagi-pagi sekali tadi, istri dari Kak Rian tiba-tiba saja datang ke rumah. Perasaanku sudah tak enak saat melihatnya. Ternyata, ia sedang mencari Kak Rian. Aku tidak tau sejak kapan Kak Rian datang. Padahal malam tadi, ia sudah berpamitan pulang usai mengunjungi ibu. Lalu, istri Kak Rian memintaku kembali masuk ke kamar dan setelah itu, aku samar-samar mendengar suara teriakan keduanya. Mereka bertengkar. Aku benci mendengar pertengkaran. Aku….” Aku mulai terisak. “Aku benci mendengar teriakan seperti itu. Tapi aku terlalu takut untuk ikut campur. Aku terlalu pengecut untuk itu. Lalu, aku seperti mendengar suara pukulan. Karena sudah tidak tahan mendengarnya dan terlalu pengecut untuk melerai, aku menghubungi ibu dan meminta ibu untuk memisahkan keduanya.”

“Lalu?”

“Aku mendengar suara teriakan ibu yang memisah keduanya. Dan tak lama, aku mendengar istri Kak Rian pergi. Hiks….”

“Gadis baik. Kau sudah melakukan hal yang benar.”

Aku menggeleng dan menyembunyikan wajahku dari layar ponsel. Aku pasti terlihat sangat jelek saat menangis.

“Aku benci aku terlalu pengecut. Tapi aku benar-benar benci mendengar orang berteriak. Pasti, nanti aku yang akan menangis karena saking kesalnya jika aku ikut campur melerai mereka. Aku benci. Aku benar-benar tidak suka….”

“Iya, aku tau. Sudah diam. Kau sudah melakukan yang terbaik. Jangan menangis lagi! Lihat! Ingusmu banyak sekali. Cepat usap! Tisu mana tisu?”

Aku menunjukkan tisu yang aku raih dari atas nakas di samping ranjangku.

“Jelek sekali mukamu. Cepat usap! Jangan menangis lagi! Aku benci melihatmu menangis.”

“Tapi Kakak yang paling sering membuatku menangis.”

“Rei….”

Aku nyengir sembari sesenggukan. “Okey, aku tidak akan membahasnya lagi.”

“Dasar bocah!”

“Kakak, berjanjilah padaku.”

“Apa?”

“Kakak tidak akan bertengkar dengan istri Kakak nantinya. Jangan pernah memukulnya! Hiduplah dalam pernikahan yang penuh kebahagiaan.”

“Lalu kau?”

“Aku juga. Aku juga akan bahagia dengan seseorang yang aku temukan setelah aku benar-benar bisa melupakan Kakak.”

“Kau bisa hidup tanpaku?”

“Kalau sebelum bertemu Kakak aku bisa, mengapa setelahnya tidak?”

“Apa kau akan menangis seperti ini ketika saatnya tiba nanti?”

“Tentu. Mungkin aku akan menangis dengan lebih buruk lagi. Bohong kalau aku bilang tidak akan menangis. Tapi tidak usah khawatir. Pasti ada saatnya aku akan berhenti menangis, melupakan Kakak, dan menemukan seseorang yang lain. Waktu seperti itu pasti akan datang.”

“Rei, aku benar-benar merasa bersalah padamu. Maafkan aku. Apa kau sungguh tidak menyesal sama sekali?”

“Menyesal untuk mencintai Kakak? Tidak. Aku tidak pernah menyesal. Aku justru berterimakasih karena Kakak telah hadir dalam hidupku. Kakak sudah ada untukku. Kakak sudah menjadi orang yang paling memahamiku, peduli padaku, dan mengabulkan harapan-harapan kekanakanku. Tidak ada moment yang aku habiskan bersama Kakak yang membuatku menyesal. Aku senang melewati semuanya bersama Kakak. Terimakasih sudah menjadi bagian dari hidupku.”

“Rei, aku merindukanmu.”

*

*

*

“Rei….”

“Besok, ya?”

Kakak tidak menjawab.

“Jam berapa acaranya?”

“Jam 7 pagi.”

“Waow. Pagi sekali. Segeralah tidur kalau begitu. Pasti besok akan menjadi hari yang melelahkan.”

“Berjanjilah kau tidak akan menangis.”

“Sudah kukatakan bohong jika aku bilang aku tidak akan menangis. Aku pasti akan menangis. Tapi jangan pikirkan aku.”

“Lalu, bagaimana jika kau menangis? Bagaimana—.”

“Biarkan aku menangis. Aku akan baik-baik saja setelahnya.”

“Kau tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh’kan?”

“Bunuh diri maksud, Kakak? Apa aku terlihat sepicik itu? Mungkin aku akan sempat memikirkan hal itu….”

“Rei!”

“Tapi aku tidak akan melakukannya. Masih banyak pria di luar sana yang akan mencintaiku.”

“Dasar bocah!”

“Apa Kakak sudah menghafal Ijab Qobulnya?”

“Bisakah tidak membahas hal itu, Rei?”

“Aku hanya penasaran. Besokkan Kakak akan mengucapkannya. Kakak merasa cemas tidak?”

“Kau sudah makan?” Kakak mengalihkan topik.

“Aku masih kenyang.”

“Maafkan aku, Rei.”

“Jangan meminta maaf. Hari ini juga hari terakhir, bukan?”

“Bisakah kita tetap menjaga komunikasi kita, Rei?”

“Tidak.”

“Kita bisa menjalin hubungan kakak dan adik, bukan?”

“Bukankah dulu Kakak bilang Kakak tidak bisa menjalin hubungan seperti itu denganku? Aku pun begitu. Aku tidak bisa.”

“Rei….”

“Aku bukan orang sekuat itu, Kak. Aku tidak akan bisa menjalin hubungan seperti itu denganmu. Kau lebih dari itu bagiku. Jadi, yang terbaik adalah kita akan mengakhiri semuanya setelah panggilan ini berakhir. Jangan pernah menghubungiku lagi.”

“Kalau begitu, bolehkah aku memberi nama anakku kelak seperti namamu?”

“Namaku tidak dipatenkan. Jadi, siapapun berhak memakainya dan aku tidak berhak melarang orang memiliki nama yang sama denganku.”

“Hei, bocah. Aku pasti akan sangat merindukanmu.”

“Aku akan melupakan Kakak. Pasti.”

“Rei…, aku sungguh mencintaimu. Maafkan—.”

“Diam.”

“Rei, tidak bisakah—.”

“Kak….”

Suara getaran ponsel Kakak terdengar. Menandakan sebuah panggilan masuk.

“Dia menelepon.”

“Tutup teleponnya.”

“Tidak. Bagaimana denganmu?”

“AKU BILANG TUTUP TELEPONNYA! AKU MENGANTUK DAN AKU INGIN TIDUR! AKU LELAH. APA KAKAK TIDAK DENGAR?”

Kakak terdiam sesaat. Lantas, “Baiklah. Jika itu….”

“Selamat malam.”

Dan aku mengakhiri panggilan kami seperti itu. Panggilan telepon yang menjadi komunikasi terakhirku dengan Kakak—orang yang paling aku cintai. Aku menangis sejadinya malam itu. Dalam hati, aku hanya bisa berteriak meminta maaf pada Kakak. Aku menyesal karena di saat terakhir aku bisa mendengar dan menatap lelaki itu, aku justru berteriak kesal. Aku meluapkan kegelisahanku pada lelaki itu. Padahal, tak pernah sebelumnya aku membentak Kakak seperti itu. Aku ingin meminta maaf langsung. Aku ingin menghubungi lagi lelaki itu. Karena teriakan itu justru melukai hatiku. Tapi aku takkan melakukannya. Aku tau itu hanya akan membuat semuanya semakin terasa sulit.

Kini, semakin banyak saja hal yang aku sesalkan karena membiarkan pria yang paling aku cintai itu pergi. Tapi penyesalan ini tidak akan mengubah apapun. Semuanya telah diputuskan. Aku hanya bisa menangis sekarang dan meyakini bahwa akan tiba saatnya nanti ketika aku akan mengingat Kakak hanya sebagai kenangan dalam hidupku. Tidak lebih.

The End

Penulis:

Just a girl that too love to Lee Eunhyuk XD

Tinggalkan komentar