Diposkan pada Orific, Romance, Romantic

Valentine’s Rain

Do you think you live in drama land? Please, wake up! It’s a reality.

Sore itu, semua orang sedang berkumpul di halaman belakang kantor. Kami sedang mengadakan pesta kecil-kecilan. Makan-makan bersama, tertawa bersama, dan yah…sedikit bersenang-senang dengan bernyanyi juga menari bersama. Angin sore itu begitu syahdu. Tidak terlalu kencang. Cukup menyejukkan. Terik matahari juga sudah tersamar oleh awan yang mengiringinya ke peraduan.


Aku menatap ke satu sisi langit yang tak tertutup awan. Biru. Menenangkan. Ini Hari Valentine. Bukan. Aku tidak berharap mendapatkan coklat dari seseorang atau sebuah pengakuan apapun. Aku hanya ingin bertemu dengannya hari ini. Itu saja. Sesederhana itu. Bisakah?


“Kak, nanti jadi pergi ke Bandung sama Kak Tania?” tanya Raya yang duduk di sebelahku.


Aku mengangguk penuh semangat.

“Iya, dong. Kita udah pesen tiket keretanya. Ya, gak, Ya?”


“Iya, dong. Kita udah puyeng. Pengen ngelepas pikiran biar gak gila-gila banget.” Tania menimpali dan aku tertawa.


Kulirik ponselku. Hanya ada pesan Whatsapp dari grup kerja. Aku menghela nafas berat. Obrolan dan suka cita akan keberangkatan liburan kecil malam ini sama sekali tidak membuatku lupa bahwa aku ingin bertemu dengannya. Aku tidak punya cukup nyali atau yah…, bisa kalian katakan gengsiku terlalu besar untuk menghubunginya terlebih dulu. Tentu saja, itu karena dia bukan kekasihku. Mungkin…, kalian bisa menyebut kami teman? Entahlah. Aku juga tidak tau pasti hubungan apa yang ada di antara kami. Mungkin dia menyebutnya pertemanan? Teman makan? Teman nonton? Teman tertawa? Dan aku menyebutnya tak ada hubungan yang jelas di antara kami.


Sekali lagi kulirik ponselku dan tepat saat itu sebuah pesan pribadi masuk. Itu dari dia. BAGAS, namanya.


“Udah pulang, Mbak?”


Aku tidak bisa menahan senyum lebar di wajahku lebih lama lagi. Aku mengulum senyumku. Tak mau kentara. Tapi aku terlalu bodoh tentangnya. Aku justru terkekeh. Aku jelas tau kemana arah pertanyaan itu akan bermuara. Tapi lalu, kelebatan ingatan akan perjalananku malam nanti membuatku panik seketika.


“Tania!”


“Apaan, Sa?”


Aku menatap Tania dengan mata membulat dan bisa kurasakan aku mengirimkan tatapan penuh bintang kebahagiaan sekaligus kepanikan padanya. Tentu, Tania seketika mengerti maksudku.


“Bagas ngajak makan?”


Aku menggeleng.


“Nonton film?”


Aku menggeleng lagi.


“Trus?”


“Belum tau. Yang jelas, dia bakalan ngajakin salah satu dari itu.”


“Trus kenapa?”


“Kan kereta kita ke Bandung entar malem.”


“Kan masih nanti malem, Asa.”


“Tapi aku belum prepare.”


“Ya, udah bilang aja gak bisa.”


“Eung….” Mata kucingku spontan keluar.


“Ya, udah tanya dulu dia maunya apa. Kalau nonton, bilang aja gak bisa. Kalau makan, sikat aja dah. Daripada galau kamunya entar malam.”


Aku meringis. Dengan berusaha menenangkan jemariku yang gemetar karena saking senangnya, aku membalas: “Masih di kantor.”


Please, makan aja, ya, Gas. Biar aku gak nyesel nolak kamu malam ini. Please, please….


Sebenarnya, ini bukan kali pertama Bagas mengajakku pergi. Tapi entah kenapa, hari ini rasanya beda. Begitu melihat pesannya, aku merasa sekujur tubuhku gemetar saking senangnya.


“Makan, yuk, Mbak.”

YES!!!


Dimana?”


Ah, sial! Aku membalasnya terlalu cepat. Seharusnya, aku menjeda beberapa menit. Setidaknya 2-3 menit. Dasar bodoh! Aku pasti terlihat sekali kalau terlalu bersemangat.
1 menit, 2 menit, 3 menit, dan…, nyaris 10 menit kemudian, Bagas baru membalas.


“Bakmi jawa dekat kantornya Mbak, gimana?”


Dimanapun asal sama kamu, batinku menggila. Ah, dasar Asa bodoh bucinnya Bagas! Oke, kali ini aku harus lebih santai. Kasih jeda untuk membalas. Anggap saja sedang berpikir. Berpikir. Berpikir. Chill, Asa. Chill.


“Jam berapa?”


“Sekarang.”


Kali ini, Bagas menjawabnya cukup cepat. Saking senangnya, aku memeluk Tania yang duduk di sisiku yang lain. Bahkan nyaris mengecupnya. Ia pun hanya tertawa kecil seraya menggeleng tidak habis pikir akan ulahku.


Disini udah mulai gerimis, Gas. Gimana?”


Otw.”


YES!!! Hei, hujan! Kau tidak cukup hebat hari ini untuk bisa menghalangiku bertemu dengannya. Maafkan aku dan terimakasih, ya, Allah. Aku rindu padanya. Hihi….

*
*
*

“Aku udah di depan, Mbak.”


Assalamualaikum!” pamitku dengan suara lantang pada beberapa teman kantor yang belum pulang begitu menerima pesan singkat yang Bagas kirim padaku seraya menyahut tas dan berlari keluar.


Aku memperlambat langkah kakiku begitu mendekati gerbang kantor. Atur nafas setenang mungkin. Ingat! Chill, Asa! Chill! Kondisikan senyumanmu! Jangan terlalu lebar. Ah! Sebaiknya, jangan tersenyum! Poker face! Poker face!


Aku melihat mobil Bagas yang terpakir di tempat biasa. Stay cool, Asa! Remember! Aku masih seperti orang gila memperingati diriku sendiri untuk tidak terlalu kentara. Bahkan peringatan itu mulai terdengar seperti rapalan mantra yang berusaha menyihir diriku sendiri.


Assalamualaikum,” ujarku seraya masuk ke dalam mobil.


Waalaikumsalam. Belum makan’kan, Mbak?”


“Mmmm….” Berbohong atau jujur? “Udah.” Aku pilih jujur.


“Terus, udah kenyang, dong? Gak jadi makan, nih?”


“Jadilah.”


“Lah? Bukannya udah makan? Belum kenyang?”


Aku meringis. Kenyang, sih. Tapi demi ketemu kamu, perutku jadi lapar lagi.

“Cuma makan dikit tadi. Jadi, gak begitu kenyang. Gak berani makan banyak juga.”


“Lah, emang abis makan apa?”


“Kambing guling. Takut darah tinggi kalau kebanyakan.”


Bagas tergelak. Tawa yang selalu aku rindukan karena mengandung unsur candu yang tinggi. “Padahal aku pengen ngajakin makan sate kambing, loh, Mbak.”


“Tadi’kan bilangnya bakmi jawa.”


“Berubah pikiran, tuh.”


“Ih, Bagas!”


Dia tergelak lagi. “Sebelum ke sana, aku ajakin mampir bentar, ya, Mbak. Sekalian mau minta tolong.”


“Oooh, jadi maksudnya ngajakin makan itu karena mau minta tolong?”


“Dua-duanya,” jawabnya seraya tertawa.


“Pinter, ya, kamu, Nak. Minta tolong apaan, sih?”


“Beliin aku popok untuk orang dewasa.”


Aku bengong sesaat. “Apa?”


“Buat bandingin harga, Mbak. Sebut saja survei harga pasar. He….” Ia meringis.


“Ih, dasar!”


“Tapi aku gak ikutan turun, lhoh.”


“Kenapa?”


“Tokonya buka cabang dekat toko aku. Buat jaga-jaga aja.”


Aku memutar mata seraya menghela nafas. “Pinter. Manfaatin aja terus aku.”


“Kan abis ini, aku traktir.”


“Anter aku pulang.” Aku memasang wajah serius.


“Gak mau. Pulang aja sendiri,” sahut Bagas diiringi suara kunci pintu mobil yang dibuka.


“Bagas!”


Lagi dan lagi, dia tertawa. Aku gak tau. Apa dia memang normalnya tertawa sebanyak ini? Tapi setiap kami bertemu, dia selalu tertawa. Apa aku sebodoh itu untuk selalu ditertawakan olehnya?


“Mau’kan, Mbak?”


“Mana catatannya?”


“Ini.”

Dia menyodorkan catatan untuk beberapa ukuran dan merk popok dewasa yang harus kubeli untuknya. Tidak terlalu banyak. Hanya 2 macam yang harus kubeli dan 1 macam hanya untukku tanyakan harganya.


Sekembalinya dari membeli permintaan Bagas, aku mendapati Bagas sedang berbincang dengan seseorang melalui telefon yang usut punya usut adalah ayahnya. Seperti biasa, Bagas memintaku diam dengan meletakkan satu jari telunjuk di bibirnya. Ya, seperti biasa. Karena beberapa kali kita jalan, jika ia sedang dihubungi oleh orangtuanya, ia akan memintaku untuk diam. Aku tidak tau mengapa. Apakah itu karena ia sama sepertiku yang tidak mau mendapatkan pertanyaan dari orangtua sedang bersama siapa terlebih jika itu adalah bersama lawan jenis ataukah karena ia sedang bersamaku? Iya, sedang bersamaku yang tidak diterima oleh keluarganya. Begitulah konon kabar yang aku dengar. Tapi aku tak pernah mendengar hal itu langsung darinya. Entah karena ia tak mau membicarakannya atau ada hal lain yang ia sembunyikan dan aku pun tidak akan pernah menanyakannya selama ia tak membicarakannya. Karena aku percaya jika itu benar dan ia sudah siap mengungkapnya, ia pasti akan mengatakannya sendiri suatu hari nanti. Jika bangkai saja tidak bisa ditutupi, mengapa kebenaran harus bisa?


“Kalau harga susunya berapa, Mbak?” tanya Bagas usai menutup teleponnya.


“Susu?”


“Iya, susu.”


“Tadi’kan kamu gak bilang, Gas.”


“Udah aku wa, Mbak.”


“Aku gak ngecek hp,” jawabku polos seraya mencari ponsel dari dalam tasku.


Bagas menghela nafas. “Ya, ampun. Balik lagi, deh, kalau gitu, Mbak.”


“Balik? Seriusan, nih?”


“Iyalah, serius. Udah kepalang nanggung juga sampai sini, Mbak.”


“Ya, ampun, Gas.”


“Salah sendiri gak buka hp.”


Aku meliriknya kesal. “Dasar ngeselin! Serius, nih?”


“Iya.”


Aku memberengut seraya hendak membuka pintu mobil. Tapi Bagas dengan cepat mengunci pintu mobil seraya tergelak.

“Bercanda, Mbak. Ya, elah serius amat, sih.”


“BAGAS!”


“Gak usah, Mbak. Ngapain? Udah balik juga. Lucu kalau ntar balik ke sana cuma buat tanya dan gak beli. Entar masnya malah curiga”


“Aku serius, Gas.”


“Aku lebih serius, Mbak Yu. Udah, ah. Yuk, makan! Katanya masih lapar.”


Mengapa aku bisa suka sama cowok ngeselin kaya gini, ya? Gak pernah sekalipun dia absen ngerjain aku setiap kali ketemu. Hobi? Kebiasaan? Entahlah. Dasar bocah cilik ngeselin!

*
*
*

Sesudah itu, kami menuju ke tempat makan yang Bagas maksud. Tapi setibanya di sana, ternyata warung bakmi jawa itu tutup. Jadi, kita merancang ulang rencana makan malam hari ini.


“Kemana, Mbak?”


“Jangan sate kambing yang jelas!”


“Aku pengen sate kambing, lhoh. Sate kambing aja, ya? Aku tau tempat yang enak, lho, Mbak.”


“Gaaaas….” Aku tau aku jauh lebih tua dibanding Bagas. Tapi entah kenapa, Bagas tak pernah gagal memancingku untuk merengek manja.


Bagas kembali tergelak. “Kenapa, sih? Masa iya bikin darah tinggi makan dikit aja?”


Aku hanya meliriknya kesal.


“Oh! Gimana kalau nasi pecel?” Dia menghindari lirikanku dan mengalihkan topik cepat.


“Nah, mending itu, deh.”


Okay….”


Dan akhirnya, menu makan malam kita sudah diputuskan. Nasi pecel yang berada di trotoar jalan di depan sebuah toko pakaian. Tidak terlalu ramai. Padahal biasanya warung ini lumayan ramai. Oh, mungkin karena hujan yang semenjak adzan maghrib tadi tidak berhenti turun dan udara yang kian menusuk. Bahkan kabut tipis mulai menyusuri jalan kota perlahan.


Aku dan Bagas memilih duduk di lesehan begitu selesai memesan. Aku duduk bersebelahan dengannya. Eits! Aku bukan tidak mau menjaga jarak. Tapi punggungku butuh sandaran setelah seharian bekerja. Tapi duduk seperti ini juga membuat dadaku berdegup kencang. Chill, Asa. Chill. Come on!


Semuanya berjalan lancar malam itu. Maksudnya, seperti biasa. Bagas selalu menggodaku dalam artian sesungguhnya : mengerjaiku, membuatku terlihat bodoh, dan sejenisnya sehingga membuatnya selalu tergelak. Tapi bukan hanya ia saja yang tertawa, aku juga sering menertawai kebodohanku sendiri. Bisa-bisanya bocah cilik di hadapanku ini selalu berhasil mengerjaiku dan membuatku semakin larut padanya setiap kali kami bertemu. Tapi sesekali, aku juga berhasil membuatnya terlihat bodoh, kok.


Aku juga menceritakan pada Bagas tentang rencanaku malam itu yang akan bertolak ke Bandung dengan kereta malam. Bagas mengatakan aku tak usah pergi. Hujan sepertinya tak akan berhenti sepanjang malam ini. Tapi aku bersikeras bahwa adik Tania akan mengantar kami ke stasiun jika hujan tak kunjung berhenti. Dan tak lama setelah membicarakan hal itu, lampu tiba-tiba saja padam. Aku melirik ke sepanjang jalan dan sepertinya mati lampu ini cukup merata di kota.


“Tuh’kan! Mati lampu. Gak usah jadi pergi aja, deh, Mbak. Ngapain juga jauh-jauh kesana?”


“Gak mau. Kita udah booking tiket hotel tau.”


Refund aja refund.”


“Aku masih cukup waras Bagas.”


Dia tergelak.


“Eh, bentar, Mbak.”

Bagas menunjuk ponselnya dan terlihat menghubungi seseorang. Aku mengangguk. Iya, telfon saja. Aku gak bakalan bersuara sedikitpun, kok. Yang tenang, bro….


Rupanya, ia menelpon pegawai tokonya. Menanyakan apakah di sana juga mati lampu dan ternyata memang sama. Jadi, ia menyuruh pegawainya untuk segera menutup toko saja. Toh, ini juga sudah hampir mendekati jam tutup toko dan seraya berbicara di telepon, Bagas mengetuk-ketuk lututku dengan jari telunjuknya. Aku memberengut kesal. Jadi, kutangkap jarinya dan ia melirikku. Kesal? Aku segera melepaskan jarinya dan mengalihkan pandanganku.


“Pulang, yuk, Gas,” ajakku begitu ia menutup telepon.


“Gak mau. Pulang aja sendiri.”


Aku memberengut. “Ujan, Gas. Gak tanggung jawab banget, sih, kamu. Udah ngajakin anak orang juga.”


“Panggil ojek online aja. Aku masih pengen di sini, Mbak. Masih ujan tuh.”


“Kan pakai mobil, Gas. Gak kehujanan.”


“Kan jalan ke parkiran bakalan kehujanan, Mbak.”


“Ih, menyek banget, sih.”


Dia mencibir. Lalu mengejutkanku dengan membulatkan mata seraya menghentakkan kepala ke arahku. Aku tertegun sejenak dan tak lama kemudian tergelak. Aku menertawakan ekspresinya barusan.


“Gimana, Gas, gimana? Ulangi coba! Lucu banget, sih. Ulangi, dong!” Aku berusaha menirukan ekspresinya. Tapi karena mataku lebih sipit dari miliknya, aku tak bisa menirukan Bagas. Aku jadi tertawa sendiri karena menertawakan kebodohanku. Tapi Bagas justru terdiam dan hanya menatapku lekat. Aku tak tau apa maksud dari sorot matanya. Jadi, aku memilih untuk meredam tawa dan mengatakan, “aku gak bisa ternyata. Mataku kurang gede.” Sial! Tatapan Bagas barusan membuatku merasa canggung.


“Mbak…. Mbak…. Dasar gila!”


“Ih! Emang aku gila. Wek!” Aku menjulurkan lidah mengejeknya. Apa barusan dia menatapku karena terpesona? Ah, Asa! Remang-remang dan ditemani rintik hujan bersama pria seperti Bagas rupanya sudah merusak otakmu.


“Eh!” Aku panik begitu mengecek ponselku. Aku sudah mengirim pesan ke Tania sejak tadi. Tapi ternyata pesan itu tidak terkirim. “Gas, kok, internetku gak jalan, ya? Kok, aku gak bisa kirim wa. Punyamu bisa?”


“Bisa. Nih!” Bagas menunjukkan bahwa ia bisa membuka instagram dengan lancar.


“Kok, punyaku enggak? Padahal tadi udah sempet aku pancing sinyalnya, lhoh. Masa gara-gara mati lampu, sih?”


“Makanya, Mbak, ganti hp-nya, deh. Nih, ganti sama hp-ku.”


“Gak mau. Hp-ku masih bagus, kok.”


“Bagus, kok, internetnya gak bisa.”


Aku memberengut. Lantas memasang wajah memelas pada Bagas. “Gas, tethering, dong….”


“Gak mau,” tolak Bagas cepat.


“Ih! Kok, jahat, sih. Bentar, doang. Buat wa Tania. Serius, deh, gak aku pakai buat macam-macam.”


“Gak mau.”


“Ya, ampun, Gas. SMS juga gak bisa, nih. Padahal pulsaku juga ada.”


Bagas memutar bola matanya. “Aku tethering semenit. Tapi beliin aku bakmi godhog di seberang jalan itu.”


“Ya, ampun, Gas. Udah semenit. Ngebeliin bakmi godhog di seberang jalan lagi. Mana ini ujan. Tega kamu?”


“Tegalah. Kenapa nggak?”


“Bagas….”


“Udah sana. Buruan. Mau nggak?”


“Ya, udah. Nyalain tethering-nya dulu. Entar aku beliin.”


“Gak mau. Beliin dulu.”

“Ya, ampun, Gas. Ujan, lhoh. Aku pakai sepatu.”


“Tuh, pakai aja sandalku.”


“Entar aku basah, lhoh.”


“Kan pakai jaket. Bisa buat nutup kepala tuh cappucon-nya.”


Aku menghela nafas dan melirik ponselku. Jam sudah menunjukkan pukul 20:13 WIB. Aku sudah tidak punya banyak waktu lagi. Jadi, aku putuskan untuk berdiri dan memakai sandal Bagas.


“Serius, nih, Gas?”


“Iya, serius. Aku masih lapar. Aku pengen bakmi godhog. Enak, nih, ujan-ujan kaya gini, Mbak. Baunya dari tadi udah menggoda.”


Aku memberengut dan berbalik. Tapi Bagas tiba-tiba berseru memanggilku.


“Eh! Gak usah, Mbak.”


Keningku berkerut kesal menatap Bagas. Ya’kan! Lagi-lagi dia ngerjain aku. “Bagas! Seriusan!”


“Iya, serius. Aku udah kenyang.”


“Tadi bilang laper.”


“Enggak. Aku udah kenyang. Sini!”


Tethering-nya?”


“Iya, sini.”


“Serius, nih? Bakmi godhoknya gak jadi?”


“Udah sini. Gak usah, Mbak.”


“Makin ngeselin kamu, nih.”


Dia tersenyum. “Udah aku nyalain tuh tethering-nya.”


Aku tersenyum. “Makasih. Gitu, kek, dari tadi.” ASTAGA! Aku ngerasa gak punya harga diri banget, sih. Ampun, deh! Demi ngirim pesan ke Tania aja sampai harus dikerjain bocil gini.


“Udah. Makasih, ya, Gas.”


Bagas mengangguk. “Pulang, yuk.”


“Yuk! Oh! Mampir beli lilin dulu, yuk. Barusan mama kirim SMS minta dibeliin lilin. Di rumah abis katanya.”


“Dimana?”


“Mmmm…. Kayanya ada, kok, di minimarket dekat situ.”


“Oke.”


Bagas beranjak duluan. Aku kembali melirik meja dan tempat kami duduk. Memeriksa kalau-kalau ada barang yang tertinggal. Benar saja. Bagas meninggalkan kunci mobilnya. Cepat-cepat aku menyahut dan menyembunyikan di saku belakang celanaku.


“Mbak, tau kunci mobil?”


Ya’kan…. Dasar bocah! Aku menggeleng. Bagas melihat ke meja tempat kami. Sudah pasti tidak ada.


“Dimana, ya, mbak?”


Aku menggeleng lagi. “Mana aku tau. Emang tadi kamu taruh mana?”


“Kayanya di meja, sih.”


“Masa?”

Aku mulai tidak bisa menahan senyumanku begitu melihatnya panik. Ah, sial! Sulit banget, sih, ngerjain anak ini.


Bagas melirikku curiga. Lalu, diam-diam aku memencet tombol di kunci mobil Bagas. Sontak, hal itu membuat Bagas mengalihkan pandangannya dariku ke mobilnya. Sepertinya, aku salah memencet tombol. Bukannya membuka kunci pintu mobil, aku justru menyalakan lampu di dalam mobil.


“Kok, lampunya nyala? Perasaan tadi aku matiin, deh.”


Tak tahan untuk menahan tawa lebih lama lagi, aku mengeluarkan kunci mobil dari sakuku.


“Kuncinya disini. Heee….”


“Salah mencet tombol, ya?”


Aku meringis malu. “Gak keliatan tombolnya, Gas.”


“Yang gedean, Mbak, tombolnya.”


“Iya, iya, bentar. Gelap tau.”


Berhasil membuka pintu mobil, Bagas masuk duluan. Tapi aku terdiam sejenak sebelum turun dari trotoar. Aku meraih pintu mobil dan membukanya tanpa berniat turun dari trotoar. Firasatku tidak enak.


“Gas, agak majuin mobilnya. Genangan airnya lumayan dalem, nih, kayanya.”


“Enggak, Mbak. Nggak dalam itu. Udah gak apa-apa.”


“Ini dalem, Gas.”


“Gak percayaan amat, sih, Mbak.”


“Musrik percaya kamu.”


Bagas terkekeh. Kuabaikan dia dan menyalakan flash light di ponselku untuk menerangi genangan air di bawah mobil. Dan benar tebakanku, genangannya cukup untuk membasahi seluruh flat shoes-ku.


“Dalem, Bagas. Nih! Majuin dikit mobilnya gih.”


“Gak bisa, Mbak. Udah naik aja.”


Dasar raja tega! Aku memberengut. Aku mencoba melangkahkan kaki ke mobil tapi tidak sampai. Terlalu jauh jarak antara mobil dan trotoar.


“Gak bisa, Gas.”


“Bisa, Mbak.”


Aku menghela nafas. Ampun, deh. Baiklah. Kali ini, aku harus bisa. Aku mencoba sekali lagi dan kakiku berhasil memijak di tepian pintu mobil. Tapi aku tidak cukup kuat untuk menarik masuk tubuhku ke dalam mobil.


“Bagas.” Aku memanggilnya seraya berusaha menggapainya. Jadi, Bagas mengulurkan lengannya dan aku menangkapnya. Lantas menjadikan lengannya sebagai pegangan untuk menarik tubuhku masuk ke dalam mobil. Dan yes! Aku berhasil. Kuat juga, nih, bocah.


“Tuh’kan bisa.”


“Makasih. Dasar ngeselin!”

*
*
*

“Ampun, Gas! Ini jalannya gak keliatan. Pelan-pelan aja, deh,” ujarku seraya mengusap kaca mobil dengan tisu. Sekarang, kami sedang menuju perjalanan pulang usai membeli lilin pesanan mama.


AC mobil Bagas rupanya sedang bermasalah. Jadi, semenjak tadi meskipun wiper berhasil membersihkan air hujan di kaca depan. Akan tetapi kaca bagian dalam terus mengembun.


“Kapan, sih, terakhir kali kamu benerin AC mobil?”


“Tahun kemarin.”


“Tahun kemarin? Gila. Bulan?”


“Baru, kok. Oktober atau november gitu.”


“Kok, udah kaya gini? Coba service lagi, deh. Serem tau. Gimana entar kalau kamu pulang sendiri?”


“Ya, pelan-pelan, Mbak, sambil ngelapin kacanya sendiri.”


Aku menghela nafas. Dasar bocah ini! Bikin khawatir saja. Mana rumahnya masih jauh juga.


“Mbak, pantes, lhoh, jadi tukang bersih-bersih kaca mobil. Mau pindah profesi gak?”


Aku melirik Bagas kesal. “Kalau bukan karena sayang nyawa, ogah aku ngelapin kaca mobilmu kaya gini.”


Bagas tergelak. Lalu, tiba-tiba ia cegukan. Kini, giliran aku yang menertawainya.


“Eh, cegukan! Syukurin!” Dan tiba-tiba Bagas menggelitik pinggangku.


“Bagas!”


“Cegukan, cegukan. Lucu banget, sih, Mbak.”


“Apanya yang lucu?”


“Eh! Cegukan,” ulang Bagas menirukan nada suaraku tadi. Iya, aku sadar bagaimana nada suaraku tadi. Aku juga sempat kaget mengapa bisa mengeluarkan suara sok imut kaya gitu? Di luar kendali. Suerrrr….


“Eh, Gas, kamu mau nganter aku langsung pulang atau ke kantor?”


“Terserah. Maunya gimana? Aku langsung anterin pulang juga gak apa-apa.”


“Oke. Tapi…, mampir kantor dulu mau gak?”


“Ih! Udah minta dianterin masih minta dibalikin ke kantor.”


“Abisnya makanan kucingku ketinggalan di kantor, Gas. Kunci motor juga kebawa. Entar mas Ali marah lagi kalau aku ninggalin motor tanpa kunci. Belum aku kunci stang soalnya.”


“Ih, dasar! Gak mau.”


“Iya, deh, terserah. Ngikutin apa kata bapak, deh. Abis itu ditinggal pulang juga gak apa-apa.”


Bagas hanya melirikku. Aku benci setiap kali dia melirikku seperti itu. Karena aku selalu kesulitan mengartikannya.


“Jadinya, mau belok ke kiri pulang atau ke kanan balik kantor?”


“Ngikut apa kata bapak,” jawabku pasrah. Dan Bagas memilih berbelok ke kanan. Ia memilih membawaku kembali ke kantor. Tak selang berapa lama, kami sudah tiba di depan kantor.


“Aku tunggu di sini, ya, Mbak,” kata Bagas sebelum aku turun.


Okay.”


Mati-matian aku menahan senyum lebar karena mengerti akan maksud kalimatnya itu. Setengah berlari, aku memasuki halaman kantor. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan urusan kecilku di kantor. Aku segera kembali lagi ke mobil dimana Bagas sudah menungguku. Tentu saja, ia masih sibuk membersihkan kaca mobilnya yang berembun.


“Udah? Gitu aja, Mbak?”


“Hu’um,” jawabku singkat seraya mengangguk. “Aku bener-bener gak bisa ngebayangin gimana kamu pulangnya nanti. Hujannya juga gak terang-terang lagi.,” omelku seraya membantunya menyapu embun. Tapi aku hanya membersihkan embun pada kaca di hadapanku. Nanti jarak kami terlalu dekat kalau aku ikut-ikut membersihkan kaca di hadapannya.


Astaga! Asa Kusuma! Apa, sih, yang ada dipikiranmu? Hujan benar-benar udah buat kamu gak waras, ya?


“Gak usah dibayangin kalau gitu.”


Aku mendengus sekaligus tertawa singkat. “Aku ngebayangin yang lain, kok. Ngebayangin, gimana bisa-bisanya Dilan sama Milea naik motor sambil ujan-ujanan? Romantis-romantisan sambil naik motor di tengah guyuran hujan, katanya. Gak masuk angin apa, yak? Bego banget. Sumpah!” ocehku seraya menatap langit kelam malam itu dari balik kaca yang masih saja dibasahi air hujan.


“Apaan, sih, Mbak?”


“Gak tau. Pengen ngoceh aja daripada diem.”


“Dasar koplak! Tau nggak artinya koplak apa?”


“Enggak.”


“Kalau kaplok?”


“Enggak juga. Aku’kan taunya kamu,” jawabku spontan. Lantas, aku menertawakan sendiri kebodohanku yang telah menjawab Bagas tanpa banyak pikir. Semoga dia tidak menyadari apapun. Semoga dia hanya menganggap aku sedang bercanda.

“Kayanya aku ketularan Dilan, deh.”


“Gila kamu, Mbak.”


“Emang aku gila. Dari dulu. Baru tau?”


Aku baru akan menoleh ke arah Bagas sebelum akhirnya, Bagas sudah mencengkram kedua pundakku dan mendorongku hingga bersandar pada kursi mobil. Aku sempat menjerit kaget. Kupikir ia akan menggodaku seperti biasa: mencubit pipi, sekedar mengejutkanku, atau yah…, kecupan singkat di pipi. Mungkin? Tapi siapa sangka? Siapa sangka dia akan melakukan hal itu padaku? Siapa sangka dia akan menciumku? Ya! Bagas menciumku! Bukan sebuah kecupan singkat di pipi. Tapi dia sungguh-sungguh menciumku.


Untuk beberapa saat, otakku tidak bekerja. Aku membalas ciumannya. Tapi wait! Sadar Asa! Siapa Bagas? Apa hubungan kalian? Dan saat aku menyadarinya, aku segera berhenti membalas ciumannya yang tak terduga itu. Aku membuka mataku dan berusaha mendorong Bagas menjauh. Tapi ia menahanku. Aku berusaha menarik kepalaku. Tapi dia menahan tengkukku. Bisa kurasakan Bagas menahan tengkukku. Sebenarnya tidak terlalu kuat. Aku tau dia tak mengerahkan seluruh tenaganya. Bahkan tidak separuhnya. Tapi aku tidak cukup kuat untuk menghalanginya.


Mengapa? Apa karena separuh hatiku menginginkannya? Apa yang aku harapkan? Apa aku sedang berharap setelah ini ia akan mengatakan sesuatu padaku? Tidak. Jika ia mengatakannya pun tak ada yang bisa kita lakukan. Aku tak sekuat itu untuk menghadapi penolakan keluarganya terhadapku dan entah mengapa, aku tau ia takkan cukup mampu melawan keluarganya.


Kubiarkan Bagas. Aku menatapnya nanar dalam jarak sedekat itu. Aku tak tau apa yang harus kulakukan.

Apa yang akan ia katakan setelah ini? Apa aku siap untuk mendengar apapun yang akan ia ucapkan itu? Lalu, apa arti dari ciuman lembut ini?

Bagas melepas ciumannya dari bibirku. Ia bersandar pada pundakku dan saat itulah kesempatanku untuk menyadarkannya.


“Bagas,” panggilku lirih. Seketika, Bagas seakan terkesiap.


Ia mengangkat kepalanya dan menatapku kebingungan kemudian. Sama halnya dengan Bagas, aku juga masih menatapnya dengan bingung, kecewa, dan entahlah. Aku tak tau apa yang bisa kupikirkan saat ini. Bagas mengerjap. Bola matanya bergerak linglung. Ia pun segera kembali ke tempatnya. Mataku bergerak mengikutinya.


“Maaf, Mbak.” Itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari mulutnya.


Aku mengangkat tanganku. Nyaris menamparnya. Tapi tidak kulakukan. Tanganku berhenti di udara. Dadaku berkecamuk. Melihatnya kebingungan, melihatnya mengusap wajah dengan kasar, melihatnya menggigit bibir dengan canggung, aku tak pernah melihat Bagas yang seperti ini sebelumnya.


“Maksudmu apa, Gas?” Suaraku tercekat.


“Mbak, maaf.” Hanya itu yang bisa ia lontarkan. Dia mengucapkannya tanpa berani menatapku. “Sorry, Mbak. Sorry.”


Aku hanya membeku. Leherku tercekik. Tapi aku tidak bisa menangis. Aku tidak bisa berteriak. Bahkan aku tak mampu menggerakkan tubuhku. Nafasku tercekat. Bagas jahat! Bagas orang terjahat!


Bagas mulai menyalakan mobilnya usai mengusap wajahnya dengan kasar untuk yang kesekian kalinya. Ia mengendarai mobil dalam keadaan hening. Aku tidak mengeluarkan sepatah katapun. Begitupun dia. Mengapa aku tidak turun dari mobil? Karena aku masih berharap Bagas akan memberikan penjelasan yang lebih lengkap selain kata maaf padaku. Tapi hingga ia menghentikan mobil di depan rumahku, ia masih tak bersuara.


“Yakin gak ada yang mau kamu jelasin, gas?” tanyaku dengan sekuat tenaga. Suaraku terdengar jauh di dalam.


“Maaf, Mbak. Aku benar-benar minta maaf,” jawab Bagas seraya merunduk.


“Aku gak pernah nuntut penjelasan apapun dari kamu waktu kamu menghilang dulu. Tapi bahkan hal seperti ini?”


“Maaf, Mbak.”


Aku rasanya ingin berteriak memakinya. Tapi aku tak punya cukup waktu. Aku harus segera berkemas karena keretaku akan berangkat kurang dari 2 jam lagi. Lagipula, sebentar lagi mama pasti akan membuka pintu begitu mendengar ada suara mobil berhenti.


Assalamualaikum.”


Waalaikumsalam.”


Aku membuka pintu mobil dan membantingya keras. Aku membencimu Bagas! Dasar brengsek!

*
*
*

EPILOGUE

Seharusnya, akhir pekan itu menjadi liburan yang menyenangkan bagiku. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Aku tidak bisa fokus. Pikiranku terus berkelana dan dibayang-bayangi kejadian yang bagai petir menyambar di siang hari pada malam sebelum keberangkatan liburanku. Otakku terus berputar dan tidak habis pikir akan sikap Bagas. Apa yang dia pikirkan? Apa dia pikir aku gadis murahan yang bisa dengan mudah dia cium? Apa yang dia pikirkan stelah aku tidak mengambil banyak tindakan ketika ia melakukan hal seperti itu padaku? Apa motivasinya melakukan hal itu padaku? Apa aku sudah melakukan sesuatu yang membuatnya terpancing? Tapi apa? Tidak ada yang salah dengan pakaianku malam itu. Aku berpakaian sopan. Apa hanya karena aku sedikit merayunya dengan mengatakan ‘yang aku tau kamu’ cukup membuatnya terpancing?


Hujan terus mengguyur Bandung sejak siang hingga petang. Tak banyak kegiatan yang akhirnya bisa kulakukan dengan Tania. Banyak rencana perjalanan kami yang terpaksa berubah dan tentu saja, hal itu semakin membuatku kesal. Semakin kesal, karena Bagas tak mengirim pesan apapun padaku sejak semalam.


Dilanda kebingungan yang tak terbantahkan, aku pun memutuskan untuk menghubungi Bagas terlebih dahulu. Kali ini, aku sudah pasti berhak mendapatkan jawaban darinya. Aku berhak bertanya apa maksud tindakannya semalam. Dan taukah kalian apa jawabannya?


“Aku minta maaf, Mbak. Semalam aku spontan kaya gitu dan aku kaya ga sadar dan ga habis pikir juga apa yang udah aku lakuin itu.”

Dan….


Aku gak tau harus jelasin gimana, mbak. Aku bener-bener nyesel.”


Taukah kalian apa yang lebih aku benci dari ini? Aku benci Bagas yang sudah menghancurkan hubungan baik kami. Setelah semua hal yang aku dengar, kami masih bisa berhubungan baik. Tapi kalau sudah begini? Aku benci aku sudah sempat percaya bahwa Bagas bisa memberikanku sebuah penjelasan yang lebih dari sekedar kata maaf dan alasan sepele tentang ketidaksadarannya melakukan tindakan itu.


Malam harinya, aku dan Tania memutuskan untuk mendatangi sebuah café and bar dan kemudian, dua teman Tania datang bergabung bersama kami. Niatnya, kami hanya akan nongkrong di sana, ditemani live music, dan sedikit soju sebagai pendamping. Sayangnya, soju pesananku sedang kosong. Jadi, aku mengubahnya menjadi sake. Ini kali pertama aku mencicipi sake. Not bad. Tapi aku lebih suka soju.


Semakin malam, hentakan musik semakin menggila. Yang semula live music diisi oleh band lokal diganti oleh musik yang diracik ciamik oleh seorang DJ. Aku pun semakin menggila. Aku menari mengikuti hentakan musik sesuka hatiku. Rasanya, aku hanya ingin melepaskan penatku. Penat yang awalnya hanya tentang pekerjaan berubah dipenuhi oleh sosok Bagas yang begitu abu-abu dalam benakku.


Bagas menyebalkan! Bagas menyebalkan! Aku benci Bagas!
Rapalan mantraku berubah menjadi ‘Bagas menyebalkan!’ dan ‘Aku benci Bagas.’. Sampai pada titik dimana aku sudah tidak bisa menahan kepala dan sekujur tubuh yang terasa berat, aku terduduk di kursiku. Kubiarkan kepalaku ditopang oleh tasku dan dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku mulai membuka whatsapp dan mencari nama Bagas.


Aku : “BAGAS
Bagas : “Iya, Mbak.”
Aku : “Aku sebel sama kamu.”
Bagas : “Terus gimana, mbak? Aku juga bingung.”
Aku : “Kenapa kamu harus gitu, Gas? Kenapa?!”
Bagas : “Aku juga ga tau mbak aku kesambet setan apa.”
Aku : “Trus kamu minta aku gimana sekarang?”
Bagas : “Maaf, mbak.”
Aku : “Kalau kamu tau kamu ga bisa tanggung jawab, harusnya kamu ngontrol diri kamu gas. Aku ngebiarin kamu karena aku pengen liat tanggung jawabmu.”
Bagas : “Iya mbak aku salah.”


BRENGSEK!!!!


Aku : “Sekarang jawab aku! Aku harus gimana? Pura-pura lupa atau ngebuyarin semuanya? Kalau kamu bilangnya kamu ga bisa jelasin aku juga jadinya ga tau aku harus gimana?”
Bagas : “Balik ke diri kamu aja mbak. Kalau aku maunya mbak bisa maafin aku. Sebaai manusia aku juga pasti ngelakuin salah.”
Aku : “Aku pengennya kamu ngejaga janjimu ga bakalan pindah ke lain hati buat tukar uang receh. Tapi dengan syarat, kamu harus bisa ngontrol diri kamu sendiri selama kamu ga bisa mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Dan aku percaya kamu ga bakalan pernah bisa bertanggung jawab. Kamu ga bisa’kan? Gas, coba deh bilang. Emang aku mancing kamu buat ngelakuin itu ke aku? Kalau iya, jawab sebelah mananya? Soalnya temen cowokku banyak. Tapi aku gak pernah digituin. Tapi kamu kenapa gitu?”


Aku sadar betul aku mulai meracau dan bicara terlalu jauh, konyol, dan acak. Tapi rasanya, aku tidak bisa menghentikan jemariku untuk terus mengetik dan meluapkan semua yang ada di otakku pada Bagas. Dan setelah sepanjang hari aku tak bisa menangis, air mataku akhirnya luluh juga.


Aku : “Apa mulai sekarang aku harus ngejauhin temen2ku itu? Padahal aku udah temenan lama loh sama mereka. Apa karena dipikiran mereka aku sudah seperti temen2 cowok mereka yang lain atau karena mereka nganggep aku kaya adik mereka? Trus kamu mikirnya soal aku apa gas? Kamu khilaf aja?”


Aku tak kunjung mendapat balasan dari Bagas setelah itu. Kepalaku semakin berat dan pandanganku mulai berputar-putar. Aku memejamkan mata seraya terus mengumamkan bahwa aku benci Bagas dan benci Bagas hingga aku sudah tidak kuat mengatakan apapun lagi. Dan setelah ocehan panjangku yang ngawur itu, Bagas membalas keesokan paginya hanya dengan jawaban : “Iya mbak siap.”


COWOK BRENGSEK!

*
*
*

Seminggu kemudian….


Mbak.”


Apa?”


Udah makan? Makan yuk.”

“~FIN~”

Penulis:

Just a girl that too love to Lee Eunhyuk XD

Tinggalkan komentar