Diposkan pada Fanfic, Sad Romance

(FF) TATTOO / ONE SHOT

408594_3453225663254_80424455_n

Title : Tattoo

Author : Ayu Puspitaningtyas

Length : OneShot

Genre : Sad Romance

Cast :

– Ryu Eun (OC)

– Hanbyul Led Apple (Lead Vocal) as Jang Hanbyul (OOC)

– Kwangyeon Led Apple (bassist) as Kim Kwangyeon (OOC)

– Doojoon Beast as Yoon Doojoon (OOC)

– Others

Disclaimer : The cast belongs to God. The idea is pure mine that God gives me.

FF ini pernah aku publish di ACC FB-ku dan juga di blog dimana aku jadi author tetapnya….

A/N : WARNING! It’s lil bit long… ^^v

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

No one can change his/her/someone’s heart if nothing a lil bit desire of that heart to.”

“It likes TATTOO and how the way to erase it…. Painful….”

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“Tidak. Terimakasih.”

Aku menolak ajakan teman-teman sekantorku untuk makan bersama sepulang kerja dan yang sudah bisa ditebak akan selalu berlanjut dengan karaoke bersama, meski kerap mereka mengatakan padaku takkan melakukan hal itu. Tidak. Bukan aku tak suka bernyanyi. Aku hanya lebih menyukai sendiri. Lagipula, aku lebih suka berdiam diri-tak bersuara-saat lelah.

Aku bisa mendengar desahan dan gerutuan kekecewaan mereka. Aku tau di antara mereka ada yang sangat membenci sikapku yang kerap kali dinilai arogan. Ada pula yang lelah membujukku, lantas hanya memilih diam atau sibuk dengan dunia mereka. Ada juga yang masih bersikeras membujukku tak hanya dengan kata-kata, tapi juga tatapan memohon seperti yang Kwangyeon lakukan. Well…. I know he has something special for me. Aku hanya tak acuh. Itu hak mereka. Ini hakku. Aku tak mengindahkannya. Aku menyukai keputusanku.

Aku tersenyum tipis pada mereka dan berlalu. Aku punya sudut kesenanganku sendiri yang tak berniat kubagi dengan yang lain. Toh, aku sadar sudut itu bukan tempat yang benar-benar khusus. Bukan tempat yang hanya aku atau seseorang ketahui. Banyak yang mengetahui dan tempat semacam itu tersebar nyaris di setiap sudut Negeri Ginseng ini. Tapi bagiku, sudut itu tak biasa. Karena di sana, aku bisa mengurangi beban pikiranku. Tempat pengalih perhatianku di samping pekerjaan.

——

Aku menyedot kuat-kuat ramyeon dan mendesis kepanasan sambil mengibaskan tangan di depan mulut. Rasa panas itu menjalari seluruh badanku dengan cepat. Dingin yang kurasakan saat berada di luar sana, karena cuaca yang berangin perlahan menguap seperti kepulan uap ramyeon yang sirna di udara. Kuputar lagi sumpit agar helaian tepung padat itu melilitnya dan dengan segera menyedotnya lagi kuat-kuat.

Mayoritas mengatakan: menikmati makanan sendiri itu tidak nikmat. Lebih nikmat jika bersama-sama. Tapi aku justru menikmati ini. Aku ditemani se-cup ramyeon dan coklat panas yang takkan mengusikku dengan celotehan yang diharuskan kujawab bersama kesunyian. Aku menikmati ini.

Inilah aku dan sudutku-kursi plastik tanpa sandaran dipasangkan dengan meja kecil panjang yang menempel pada dinding dalam toko serba ada yang menyediakan tempat bagi pelanggan untuk menyeduh dan menikmati ramyeon tanpa perlu membawanya pulang. Pemandangan lurus ke depan menembus kaca bening adalah kesukaanku. Mengamati keramaian di luar sana. Lalu lalang manusia dan kendaraan. Tapi aku tak suka berbaur ke dalamnya, terutama saat lelah. Terkadang tatapanku akan menyebrangi jalan dan berhenti di Toko Pakaian Pengantin-lurus dengan tempatku berada-atau bergeser ke sampingnya sebuah Toko Pernak Pernik yang dimonopoli warna merah jambu, dan sisi lainnya lagi-melompati Toko Pakaian Pengantin-di mana ada Toko Roti yang akan menggodaku dengan aroma manis dan gurih, jika aku keluar dari sudutku ini.

Angin yang berhembus kencang membuat rambut dan pakaian orang-orang yang berjalan di luar sana melambai riang. Ranting pohon bersama sekutunya-sebut saja daun-dan juga spanduk iklan turut bergoyang beriringan. Langit malam ini juga begitu pekat. Lantas menyala sepersekian detik dan tak lama seakan menggeram murka. Apa hujan akan turun?

Semoga….

Aku suka titik-titik hujan yang menabrak kaca toko. Lantas di sana, memanjang dan meliuk ke bawah dengan anggun. Aku suka mengamatinya. Aku suka dengan hal-hal yang bisa mengalihkan perhatianku. Aku suka dengan imajinasi yang selalu membawaku lari dari kenyataan. Kenyataan yang belum membebaskanku dari kepahitan.

Langit mulai menangis. Orang-orang yang berjalan di trotoar berlarian. Mencari tempat berteduh. Ada juga yang masuk ke toko tempatku berada. Aku menopang dagu dan hanya menatap antusias jutaan tetesan itu. Ramyeonku sudah tandas habis. Coklat panas-ah tidak-coklat yang nyaris hilang kehangatannya itu sudah berkurang lebih dari separuh. Aku menyesapnya sedikit. Damai….

Aku bersama fikiranku terus berkelana. Semula hanya terpusat pada sekitar tetesan-tetesan air hujan yang menjadi aliran-aliran kecil di kaca toko. Lantas tatapanku terpaku pada punggung dua orang manusia-pria dan wanita-yang berteduh di depan sudutku. Aku termangu. Aku dan fikiranku berhenti pada satu kenangan usang tanpa bisa kuhindari. Menyangkut hujan….

“Kita terjebak hujan berdua. Tidakkah menurutmu ini romantis?”

Entah dari mana datangnya suara itu. Mendadak saja terdengar di otakku. Bukan telinga. Teriringi sebuah senyum cerah yang muncul dalam penglihatan tak kasat mataku.

Dadaku nyeri. Sesak. Sakit. Sesuatu dijejalkan pada tenggorokanku-entah apa itu-karena bahkan aku tak bisa menelan ludahku sendiri. Tolong aku! Ingatan ini menyekikku. Rindu ingin membunuhku.

Rindu yang meski susah payah kuhindari tetap saja tak kunjung rela meninggalkanku sendiri. Rindu yang kerap membludak dari hatiku tanpa bisa kuelak, meski sangat kuinginkan. Tidak. Benarkah aku menginginkan dan merelakan rindu pergi dari hidupku? Karena setiap aku mengusirnya, muncul ‘tapi’ yang mengikatnya. Alasan….

Kurekatkan gigi-gigiku kuat. Aku tak bisa menjerit. Rindu menyiksaku, tapi juga membuaiku. Ini sangat membingungkan. Setelah bertahun-tahun pun aku belum juga bisa memutuskan yang lebih terasa antara siksaan dan buaian itu. Benarkah aku telah menikmatinya?

Aku meremas dadaku. Sakit. Sakit seorang perindu. Kau akan tau rasanya yang begitu luar biasa menghimpit dada saat merindukan orang yang bahkan kau tak tau keberadaannya. Dia sehat atau sakit. Dia hidup atau tidak. Bahkan kau tak tau. Semacam menderita penyakit langka tanpa obat.

Aku merunduk. Memejamkan mata rapat-rapat. Berusaha mengusir bayangan-bayangan yang justru semakin melekat kuat di benakku.

Mataku memanas. Selalu begini saat rindu itu meluap. Selalu begini tanpa luh yang menetes. Hanya panas. Hanya menimbun luka. Bukan ditahan. Tapi memang tak bisa keluar. Entah mengapa….

Kumohon…. Muncullah saja di hadapanku dengan nyata! Kau hanya menyiksaku dengan bayanganmu. Kumohon…. Agar aku tau pasti yang harus kulakukan.

——–

Aku pulang dengan langkah gontai. Tubuhku menggigil. Gigiku bergemeretak. Sekujur tubuhku basah kuyup.

Kubuka pintu flat dan segera berbaring di atas sofa. Menekuk kaki hingga lutut bertemu dada. Aku terdiam cukup lama. Tubuhku bergetar. Dingin…. Sangat….

“Sakit…,” rintihku. Suaraku terdengar begitu jauh dan dalam. Juga bergetar. Ini menjijikkan. Aku sangat menyedihkan. Tapi aku tidak bisa terlepas dengan mudah dari semua ini.

Hal seperti ini bukannya terjadi padaku setiap hari. Terkadang beberapa kali seminggu atau bahkan aku takkan teringat sama sekali saat pekerjaanku begitu padat. Tapi jika tidak… seperti inilah aku.

Sebagian besar dari kalian akan berpikir: Mengapa aku tak menerima tawaran teman-temanku saja untuk bersenang-senang di luar sana dan melupakan sakit ini? Mengapa aku lebih memilih sendiri dan mengambil resiko untuk merasakan sakit ini saat sedang sendiri?

Jawabannya: aku tak tau. Mungkin saja aku hanya sudah tenggelam jauh dalam laut biru kelam dan dingin itu. Mungkin saja juga aku sudah menikmati sakit ini. Terbiasa….

——–

Pagi-pagi sekali. Bahkan sebelum para pekerja kebersihan menyelesaikan tugas mereka, aku tiba di kantor.

Rasa sakit semalam membuatku tak bisa tidur. Hanya berbaring tanpa arti di ranjang. Hanya terpejam sebagai syarat. Semalaman membiarkan tubuh terjebak dalam pakaian yang basah, aku merasa tak benar-benar sehat pagi ini. Pening. Berat.

Aku memaksa diri dan tenggelam dalam tumpukan pekerjaanku sebagai editor di sebuah majalah remaja-menangani rubrik musik. Staff yang lain mulai berdatangan satu per satu. Hong Yong Bi-si reporter enerjik-dan Jang Hanbyul-sang fotografer cerewet-menghampiriku. Menyodorkan hasil kerja mereka lusa kemarin di luar kota. Meliput jalannya syuting sebuah video musik yang paling dinanti bulan depan.

Yong Bi beringsut pergi sementara itu Hanbyul tetap tinggal di ruanganku. Ia mengoceh penuh semangat sejenak di mejaku tentang pengalamannya lusa kemarin. Begitulah Hanbyul. Dia gemar memancingku yang jarang berbicara tentang hal di luar pekerjaan. Kadang aku menanggapinya, meski sedikit. Kadang tidak sama sekali.

Aku memang tak pernah memberi jarak antara aku sebagai Editor dan Staff lain di bawahku. Aku hanya memberi tembok tebal antara aku dan staff pria. Aku tak pernah membiarkan mereka benar-benar dekat denganku. Alasan? Aku hanya tak mau ada ‘ketertarikan’. Apa aku terlalu percaya diri? Tidak. Aku hanya menghindarinya. Mencegah kemungkinan itu. Aku tak nyaman dengan hal seperti itu.

Untuk kasus Hanbyul, dia sedikit berbeda. Dia tidak benar-benar bisa kujauhi. Hanya terkadang saat aku sadar dia harus kujauhi. Ia tipe pria penggoda. Dia pria penggoda yang manis. Bukan yang menjijikkan.

Lagipula, aku suka mendengarnya bercerita. Ringan dan begitu ekspresif. Ia lebih pantas menjadi pembawa acara musik, variety show, gosip, atau… reporter, menurutku. Seharusnya, ia memiliki posisi sama dengan Yong Bi. Aku pernah menyarankannya begitu. Tapi ia bilang lebih menyukai dunia fotografi. Ada alasan khusus atau tidak dalam sikapku, aku tak yakin. Mungkin…, Hanbyul hanya sedikit lebih mengingatkanku pada ‘dia’. Jadi aku bisa merasa sedikit lebih nyaman dengannya. Tidak. Bukan suka. Apalagi cinta. Dia hanya salah satu ‘tapi’ bagiku. Sepertinya….

“Editor Ryu, apa reporter baru itu sudah datang?” tanya si Cerewet itu.

Aku baru akan bertanya maksudnya, sebelum aku teringat sesuatu. Seorang reporter baru memang telah ditambahkan pada bagianku. Kemarin, sebelum aku pulang, Sekretaris Redaksi Bong menyerahkan data reporter baru itu padaku. Tapi aku tak sempat memeriksanya, karena aku bergegas pulang. Menghindari ajakan makan bersama semalam.

“Kurasa belum,” jawabku.

Hanbyul mengangguk ringan. “Kudengar dia seorang pria. Ah…, itu buruk untukku,” keluhnya jenaka seraya memasang wajah kecewa.

Aku hanya terkekeh geli. Satu lagi kesamaan Hanbyul dengan ‘dia’. Mereka sama-sama suka menggoda wanita. Itulah mengapa Hanbyul kecewa pada kenyataan, bahwa reporter baru itu seorang pria.

Sesak. Aku merasakan kesesakan itu lagi setiap mengingatnya. Entah karena mengingat sifat naluri penggoda wanita mereka yang begitu pekat atau karena ‘dia’. Kugenggam pena erat-erat dan menarik nafas dalam serta menghembuskannya perlahan dengan sangat hati-hati. Hanbyul tak perlu tau apa yang kurasakan saat ini. Tenangkan dirimu Ryu Eun!

“Editor Ryu, kau pasti sangat menyukai kenyataan itu.”

Keningku berkerut samar. Suka? Untuk apa? Mengapa harus?

Hanbyul mengangkat bahu. “Dia PRIA SINGLE dan Editor Ryu WANITA SINGLE. Apalagi?”

Aku tersenyum kecut. Aku mendengar Hanyul memekik lirih mengucapkan ‘yes’. Aku tak mau tau apa maksudnya. Terserah dia saja. Si Cerewet itu mendesah dan mulai mengoceh lagi,

“Kwangyeon mengeluh sepanjang hari padaku. Benar-benar mengganggu!”

Aku membuka file hasil kerja Yong Bi untuk mengalihkan perhatianku dari Hanbyul dan kemiripan mereka. “Waeyo?” tanyaku kemudian.

“Waeyo? Tentu saja karena partner kerjanya yang baru bukan seorang wanita!” serunya seakan hal itu sudah selayaknya aku ketahui. “Aku baru sadar betapa lebih beruntungnya aku dibanding dia,” lanjutnya-mengarah pada partner kerjanya yang wanita, yaitu Yong Bi.

Aku mendengar nada kelegaan di sana. Dasar pria penggoda!

Sebelum pergi, Hanbyul masih menyempatkan diri merayuku. Ia bilang aku manis saat tersenyum dan berharap aku sering melakukan hal itu. Terserah saja apa katamu Jang Hanbyul. Aku hanya tersenyum, jika mau.

Setelah itu Hanbyul meninggalkanku sendiri. Aku menghembuskan nafas lega. Dia pergi…. Bayangannya juga. Aku bersyukur mereka tak menggunakan aroma parfum yang sama. Kalau tidak, kepergian Hanbyul akan terasa lebih menyesakkanku.

Lantas, aku merasa keadaanku tak juga membaik. Tidak. Aku tak apa. Aku tak akan membiarkan tubuhku berbaring. Tak bekerja.

Aku teringat pada dokumen data diri reporter baru itu. Aku baru akan membukanya saat Kwangyeon masuk ke ruanganku.

“Apa reporter baru itu sudah datang?”

Aku mendengus kesal sekaligus bersabar. Apa pertanyaan itu penting? Ada apa dengan reporter baru itu? Bahkan ia belum datang, tapi banyak sekali yang menanyakannya.

“Mengapa harus seorang pria?” tanyanya lagi.

Aku menghela nafas. Aku lelah. Keadaanku tak terlalu baik. Mengapa hal tak sepenting itu harus dikeluhkan? Tubuhku terasa panas dan dingin tak karuan. Kepalaku benar-benar seperti sedang diisi dengan batu berton-ton. Berat dan sakit.

“Ada yang salah?” tanyaku serius kemudian. Ujung jemariku menekan pelipis. Aku berusaha sabar.

Kwangyeon menggeleng dan meringis canggung. Ia menyadari kekesalanku.

“Apa Editor Ryu sedang tidak sehat?”

Aku menggeleng lemah. “Keluarlah!” kataku tak terlalu bertenaga.

“Mau kubuatkan teh?”

Aku menggeleng lagi dan menggerakkan tangan untuk meminta Kwangyeon keluar.

“Editor Ryu bisa mengandalkanku setiap saat. Aku siap 24 jam un–”

“Kumohon,” pintaku dengan suara tertahan.

Kwangyeon tak bersuara lagi. Ia menurutiku.

Aku tak suka diperhatikan. Aku tak nyaman dengan perhatian-perhatian seperti itu. Terdengar aneh? Tapi itu kenyataan. Aku juga tak tau alasannya. Mungkin saja karena aku hanya berharap ‘dia’ yang memperhatikanku.

Kupikir aku bisa mengandalkan tubuhku hari ini. Tapi ternyata salah. Keadaanku tak juga membaik. Aku justru merasa semakin berat.

Lantas, kudengar ketukan teratur di pintu. Aku tak bisa mendongak ataupun bersuara. Perutku mual. Mungkin itu Kwangyeon. Aku tak mau terlalu memperdulikannya dulu saat ini. Biarkan saja.

Mungkin karena tak kunjung aku jawab, terdengar suara yang meminta ijin masuk ke dalam ruang redaksi. Ada yang aneh dengan suara itu saat aku mendengarnya. Asing tapi begitu intim. Aku memaksa mendongak.

Kurasa malaikat kematian sedang berusaha mencabut rohku sekarang. Aku tak bisa bernafas. Kurasa jantungku berhenti memompa darah ke seluruh tubuh dan paru-paruku pun sepertinya berhenti mengolah oksigen yang kuhirup. Aku tercekik. Apa seperti ini rasanya akan mati? Kepalaku semakin pening.

Senyum itu kembali membayangiku. Hari ini, semua yang selama ini hanya menyiksaku sebagai bayangan dan doa menjelma menjadi kenyataan. Benarkah?

“Kita bertemu lagi,” ujarnya.

Aku tidak mendengar suara itu dengan otakku kali ini. Aku mendengarnya dengan telinga. Apa itu berarti ini kenyataan dan bukan khayalan semata?

“Tidak ingin menyambutku Editor Ryu? Reporter baru….”

Ia bersuara lagi dan membuatku bertanya untuk memastikan ucapannya dan pendengaranku.

“Reporter baru. Editor Ryu tak tau itu?” Ia memasang wajah kecewa.

Aku hanya mengangguk dengan bodoh. Masih tetap menjadi orang terbodoh sedunia saat harus berhadapan dengannya. Ia terkekeh. Berapa lama aku tak melihat tawa itu?

Ia berjalan mendekat. Aroma parfumnya membuatku sadar aku masih bernafas dan belum dihampiri malaikat kematian.

“Tidak mempersilahkanku duduk?”

Aku menggeleng. “Anjoseyo (silahkan duduk).”

Kami berjabatan sejenak. Aku canggung. Hal yang masih wajar kurasa. Mengingat kami sudah tak bertemu lama.

Selanjutnya ia mengatakan, bahwa ia terkejut akan bekerja denganku. Ia juga baru mengetahuinya saat melihatku melalui tembok kaca pemisah ruanganku dengan ruang staff yang lain.

Sementara dia berbicara, aku berusaha mengendalikan diriku. Baik dari rasa sakit dan manis yang timbul, karena kemunculannya ataupun karena rasa tak nyaman yang mengaduk-aduk perutku.

“Reporter Yoon, anda sudah bisa mulai bekerja hari ini,” selaku dengan tenang begitu aku bisa sedikit mengendalikan diri. “Tanyalah pada Fotografer Kim berita apa saja yang harus kalian liput. Anda boleh pergi sekarang.” Tanganku bergerak menunjuk pintu keluar.

Kulihat ia termangu mendapati tanggapanku. Apa kau terkejut Reporter Yoon? Atau harus kupanggil kau ‘Doojoon~ah‘?

——-

Aku menghambur keluar ruangan tak berselang lama setelah Doojoon beranjak pergi. Aku sudah tak bisa menahan rasa tak nyaman ini lagi. Keringat dingin memburukkan keadaanku.

Aku yakin semua staff mengerutkan kening mereka saat melihatku berlari sambil menutup mulut. Aku tak perduli. Lebih memalukan lagi, jika aku sampai memuntahkan isi perutku di dalam ruangan atau bahkan di depan mereka.

——-

Aku mengerahkan seluruh kemampuanku untuk beranjak dari toilet. Langkahku begitu lemas, karena kakiku bergetar hebat. Kepalaku pun terasa berat dan membuatku kesulitan membuka mata. Semacam tak sanggup menopang tubuh sendiri. Sepertinya ini adalah efek telah menguras isi perut yang hanya kuisi oleh ramyeon semalam.

Kepalaku berdenyut hebat. Jadi kuhentikan langkahku dan memejamkan mata. Di luar dugaan, memejamkan mata justru membuatku seolah diputar. Aku oleng dan oh? Aku tak terjatuh. Aku bisa merasakan lengan yang melingkari pundakku.

“Kau sakit?”

Suara itu terdengar. Aku mendengarnya. Suara yang membuatku nyaris gila, karena merindukannya.

“Eun~ah?”

Aku hanya menggeleng. Suaraku tak mampu kukeluarkan. Kupaksakan mataku untuk terbuka dan menatapnya. Lantas mendorongnya-Doojoon. Dorongan tanpa tenaga hingga tak menggesernya sedikitpun.

“Kau sakit! Harusnya kau tak perlu masuk kerja.”

Aku menghela nafas panas yang ditimbulkan dari suhu badanku. Aku sama sekali tak bisa berfikir dengan baik saat ini. Keadaan tubuh yang tak keruan dan kemunculan mendadak seseorang yang begitu sulit kudiskripsikan pengaruh kehadirannya melumpuhkan otakku. Seperti ada begitu banyak benang kusut yang menumpuk di otakku. Aku kesulitan mengurainya, meski sudah kucoba berulang kali.

“Aku bisa sendiri,” ujarku berbisik. Ini adalah usaha terbaikku untuk bersuara.

Aku melepas tangan Doojoon dari pundakku dan kembali melangkah. Tapi tubuhku sedang tak ingin kupaksa. Aku pasti sudah ambruk, andai Doojoon tak menahanku lagi.

“Selalu berbohong.”

Aku meliriknya sinis dalam tatapan sayu. Apa yang dia katakan? Dia berbicara seolah mengenal benar diriku. Bukankah kau tak tau dan tak pernah mau tau tentang hidupku Yoon Doojoon?

“Kau bisa berdebat denganku setelah keadaanmu membaik,” sahutnya saat aku baru membuka mulut. Berdebat…. Kau masih ingat kebiasaan bodoh kita itu?

“Kuantar kau pulang,” katanya lagi.

Kali ini yang menghalangi ucapanku adalah suara teriakan Jang Hanbyul dan Kim Kwangyeon. Teriakan yang begitu memekakkan telingaku meski tak terlalu keras. Pening menyerangku kembali.

Suara panik mereka justru membuatku kesal dan memburuk. Kudengar Hanbyul terus menanyakan keadaanku sementara Kwangyeon bersikeras menawarkan teh padaku. Tidak bisakah mereka diam saja? Jika kalian mengkhawatirkanku, kusarankan kalian untuk tak bersuara. Itu obat terampuh bagiku saat ini.

Lantas semakin lama, suara mereka terdengar menjauh. Jauh dan tinggal menjadi gema. Tubuhku pun menjadi lebih ringan dan hanya ada kegelapan yang kutau berikutnya.

——-

Aku duduk dan bersandar pada punggung ranjang. Aroma khas rumah sakit terendus hidungku sejak aku mendapatkan kembali kesadaran.

Aku tak tau siapa yang telah membawaku ke sini dan aku pun tak mau tau. Aku hanya tau aku sudah berada di rumah sakit saat terbangun.

Aku menatap lurus ke luar jendela. Langit sudah gelap. Sepekat hati dan pikiranku.

Kupejamkan mata dan sesak itu terasa lagi. Wajahnya kembali berkelebatan, meski aku sudah menutup mata. Yoon Doojoon…, akhirnya, kau muncul kembali.

Suara dan wajahnya yang kulihat terakhir kali pagi ini membuatku kian mengimajinasikannya dengan jelas. Senang sekaligus perih.

“Aku menyukaimu. Tapi kau dan aku tak bisa bersama.”

Kenangan suara itu kembali melintas. Dia bilang mencintaiku juga. Lantas mengapa tak bisa bersama? Mengapa harus mengatakan itu kalau dia tak bisa bersama denganku? Seharusnya kau katakan saja padaku kau tak menyukaiku! Dan aku takkan pernah menyalah artikan semuanya. Tak berharap sedikitpun.

Yoon Doojoon, kau pasti tidak tau seperti apa aku merindukanmu. Kau juga pasti tidak tau bagaimana aku mencintaimu. Karena kau kembali seakan tak pernah ada yang terjadi di antara kita. Aku yakin kau juga tak tau apa yang aku rasakan saat melihatmu lagi. Karena kau tak pernah mengalami semua itu. Dan lagi, apa kau tau bagaimana rasanya ingin melupakan seseorang, tapi justru terjebak dalam kenangannya? Lalu seseorang itu muncul di hadapanmu. Apa yang akan kau lakukan, jika itu terjadi padamu? Apa kau tau caranya? Jika ya, katakan padaku!

Rasanya benar-benar membingungkan. Meski kau mempermainkanku, mengapa aku tak bisa membencimu? Melupakanmu…. Membiarkanmu dengan hidupmu yang bebas.

Burung liar. Seperti itulah dirimu. Indah. Bebas. Tak terkungkung dan sukar tertangkap.

——

“Kau tak apa?” tanya Min Joo-sahabatku-saat ia mengunjungiku di rumah sakit.

Maksud ‘tak apa’ di sini bukan dia sedang mempertanyakan kesehatanku. Tapi jiwaku. Perasaanku. Dia sudah mendengar tentang kembalinya Doojoon. Ia satu-satunya orang yang tau bagaimana aku pada pria itu.

Aku tersenyum dan menggeleng. Lantas mengatakan, bahwa aku baik-baik saja. Dokter mengatakan, bahwa aku hanya demam biasa dan kelelahan. Setelah kujawab seperti itu, Min Joo memberengut kesal. Aku berpura-pura tak mengerti atas kekesalannya itu.

“Bukan itu maksudku!” serunya. “Apa kau sungguh tak mau menemuinya, Eun~ah?”

Aku mendengus setengah tertawa pendek. “Untuk apa?”

Min Joo membuka mulut dan menutupnya lagi. Ia menatapku prihatin.

Lantas, “Eun~ah, meski kau tak pernah menyebut namanya lagi, tapi aku tau kau masih sangat merindukannya. Bukankah karena itu kau tak pernah berkencan selama ini?”

Aku menolak menatap Min Joo. Aku tak pernah ingin membahas masalah ini dengan siapapun. Ini cinta bodoh yang tak patut kubanggakan.

“Tidakkah ada yang ingin kau pastikan darinya?” tanya Min Joo lagi. Mungkin karena aku tak kunjung menjawabnya.

“Tidak.”

“Kau yakin?”

Tidak. Sama sekali tak yakin. Ada begitu banyak hal yang ingin kutanyakan, tapi saat berhadapan dengannya pertanyaan-pertanyaan itu menguap tanpa bekas.

Sesuatu mulai terasa mengganjal pangkal tenggorokan dan memanaskan mataku. Susah payah aku menelan ludah yang kurasa bahkan telah mengering begitu saja. Akankah suaraku bergetar jika aku berbicara?

“Ada banyak hal yang membuat kita tak bisa bersama.”

Aku mengeratkan gigiku saat mengingat ucapannya dulu. Ia bilang ada banyak hal. Tapi aku tak pernah tau apa saja ‘banyak hal’ itu.

“Eun~ah….”

“Dia tak menginginkanku,” ucapku dengan suara tertahan dan ya! Bergetar. Menjijikkan! Tapi aku tak bisa menghindari ini.

Aku benci mengatakan tentang hal ini. Aku benci kenyataan ini.

Kunaikkan dagu. Berharap sesuatu yang menyumpal pangkal kerongkonganku itu segera lenyap.

“Dia sudah mengatakan itu. Apa lagi yang harus kutanyakan?” Aku bersuara lagi. Pandanganku mengabur. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata.

Aku berdeham. Berharap suaraku tak lagi bergetar. “Tak ada, Min Joo~yah,” kataku. Masih bergetar. “Aku tak mau membuatnya risih atas hal yang sudah pernah ia katakan padaku. Aku tak mau ia tak nyaman karena aku bersikap seperti itu. Aku tidak akan tahan kalau dia menjauhiku karena itu. Aku tidak….”

Aku terisak. Mataku mengalirkan cairan hangat. Air mata…. Aku menunduk. Malu karena menangis. Aku benci diriku yang begitu cengeng, jika menyangkut dirinya.

Min Joo memanggilku lagi dengan prihatin. Kumohon jangan mengasihaniku. Ini cinta yang bodoh. Aku tau itu. Aku sudah berusaha cerdik, tapi masih begitu sulit. Tapi jangan mengasihaniku.

“Mau kupeluk?” tawar Min Joo.

Aku mengangguk dan Min Joo mendekapku. Memelukku erat. Aku menangis sejadinya di pundak sahabatku itu. Akhirnya setelah sekian lama, aku bisa mengeluarkan air mata. Benar-benar lega….

——-

Langkahku terhenti saat ia memanggilku. Oh, tidak! Seharusnya aku tak memaksa keluar dari rumah sakit kemarin.

Aku masih belum siap. Aku belum tau harus memasang wajah seperti apa padanya. Bersikap dingin? Biasa? Bagaimana?

“Kau sudah sembuh?”

Ia mensejajariku. Yoon Doojoon yang lebih tinggi beberapa centi dariku. Tersenyum cerah.

“Menurutmu?” Oookay! Aku pasti terdengar tak bersahabat sama sekali.

Apa aku juga terlihat benar-benar seperti orang yang tak bisa menerima kenyataan? Benar. Kenyataan. Keegoisanku untuk memilikinya terlampau besar. Tak bisa memilikinya membuat aku sungguh membenci hal itu.

Doojoon terkekeh. Lantas, “Tipikal Ryu Eun,” sahutnya seraya menepuk pundakku.

Aku mengerutkan kening samar. Bukan tak suka. Hanya tak mengerti. Bagaimana ia bisa bersikap seperti tak pernah ada yang terjadi di antara aku dan dia? Semudah itu? Atau karena tak penting? Kau dan rumit. Kalian satu Yoon Doojoon.

“Kau tau? Aku bingung menghadapimu kemarin,” tukasnya. Ia sepertinya membaca raut wajahku sebagai suatu ketidakmengertian. Tapi dalam kasus yang berbeda. Lalu, “Kau aneh sekali. Bersikap seolah kita baru kali pertama bertemu saja,” keluhnya.

Langkahku terhenti. Ia juga. Aku menatapnya. Ia membalas. Alisnya terangkat tak mengerti.

Tak peka. Sungguh. Kau ini kejam atau bodoh, huh?

Ia menatapku tanpa beban. Menghela nafas lega dan tersenyum. Senyum yang sangat manis. “Syukurlah. Karena hari ini nampaknya kau sudah kembali__Ryu Eun….”

Dan senyum itu yang terkembang pagi ini hanya menjadi milikku. Menghancurkan tembok es yang berdiri kokoh dan angkuh dalam hatiku. Melebur. Menghangatkan jiwa. Terasa penuh. Ada banyak perasaan hangat yang menyelimutiku. Menyamankanku.

Selanjutnya yang aku sadari adalah aku tersenyum padanya. Yoon Doojoon.

——-

ā€œKau sudah banyak berubah.ā€

Doojon melirikku. Mengamati. Wajahkuā€¦. Pakaiankuā€¦. Mungkin juga cara dudukku yang memang sudah jauh berbeda dibanding dengan beberapa tahun yang lalu. Lebih anggun.

Berani bertaruh. Kau pasti tak tau alasan dibalik semua iniā€™kan Yoon Doojoon?

Aku dan dia duduk bersanding di sanaā€”pada atap yang telah disulap menjadi taman kecil. Hijau. Begitu dingin di mata. Lantas aroma rerumputan dan bunga memenuhi rongga paru-paruku. Angin berhembus sedang. Membelai wajah dan rambut. Nyaman. Istirahat siang yang lebih tenang dari apapun.

Kenyamanan yang lebih nyaman dibanding duduk sendiri di sudutku. Sudah berapa lama aku tak senyaman dan setenang ini?

Dan oh! Sudah berapa lama juga jantungku tak berdegup seperti ini? Degupan yang menyenangkan. Sungguh. Seolah kembali menjadi remaja. Remaja yang tengah dimabuk cinta.

ā€œApa itu tandanya kau memintaku tetap tinggal dengan masa lalu?ā€ Aku tersenyum separuh. Menyindir. Kenyataannya adalah tanpa ia memintanya, hingga kini aku tetap tinggal di sana.

Doojoon menyesap sedikit se-cup kopi. Lantas menghembuskan nafas perlahan.

ā€œJangan! Tidak enak. Sungguh,ā€ ucapnya seraya menatapku jenaka dan tersenyum. ā€œLagipula, kau lebih cantik sekarang.ā€

Aku terkekeh. ā€œTipikal Yoon Doojoon.ā€

Dan ia tertawa kali ini. Ia juga bertanya tentang ā€˜tipikalā€™ yang aku maksud. Aku tak menjawab dan hanya menyesap kopiku.

Aku dan Doojoon berdebat tentang hal-hal tak penting. Ada gelak tawa. Sama seperti dulu. Kami berebut makanan kecil. Lantas memutuskan untuk berbagi. Ini pun sama. Rayuan? Tipikal Yoon Doojoon as usual. Lalu, aku dan masa laluā€”kami tenggelam bersama.

Cerita tentang kesibukan aku dan dia selama tak bertemu beberapa tahun terakhirpun menyadarkanku. Banyak hal tentangnya yang aku lewatkan. Bukan tak perduli. Tapi itu hanya sebuah cara. Melupakannya bukan hal mudah bagiku, kalian tau? Tak pernah mudah. Tak ikut campur dan mencari tau segala sesuatu tentangnya tak pernah cukup bagiku untuk menghapus keegoisan tentang memilikinya. Hanya alih-alih berusaha, meski menyadari itu sia-sia.

Terkadang mengetahui jalan hidup seseorang yang tak bisa kau miliki begitu menyakitkan. Sakit karena kau tak bisa menerima realita. Bukan perkara mudah menerima kenyataan seperti itu.

Ada kata mutiara yang mengatakan: ā€œKau akan bahagia, jika orang yang kau cintai bahagia.ā€ Itā€™s just a bulshit! Itā€™s not the reality. Kenyataannya adalah kau hanya akan merasa lebih sakit. Terlebih untuk orang-orang sepertiku yang selalu hidup dalam masa lalu.

Doojoon mengacak rambutku beberapa kali. Mulutku terus memintanya berhenti. Tidak dengan hatiku. Aku menikmatinya.

“Aku bukan bocah lagi!” keluhku.

Doojoon kembali mengacak rambutku. Bersikeras tak ada hubungan antara aku yang sudah bukan bocah dan mengacak rambut.

Aku menjauhkan tangannya dari kepalaku. Tapi ia menarik tanganku. Mendekat.

Lantas, korneaku hanya dipenuhi oleh wajahnya. Aku bisu. Aku tuli. Aku hanya tau dia. Bisakah waktu berhenti di sini saja?

Aku menyadari suatu hal. Tentang besarnya kerinduan itu. Bagaimana ia tak terhapus. Bagaimana ia tak terlupakan. Bagaiman ia mengendap dalam dasar hatiku. Bagaimana ia menghuni setiap sudut jiwaku. Bagaimana ia terus hidup dalam duniaku. Bagaimana dirinya membuatku rela menutup semua pintu dalam hatiku. Mengunci hanya dirinya seorang di sana.

Ia tersenyum lebar. Tubuhku tak berbeban. Nafasnya yang hangat menerpa wajahku. Aroma parfumnya mendominasi udara yang kuhirup. Aku menikmati ini.

Tangan Doojoon yang hangat dan lebar menyentuh kulit pipiku. Menangkupnya. Aku menyadari bahwa aku melupakan hal fatal sebagai manusia. Aku tak mengingat cara bernafas. Mungkin ada yang salah dengan sistem operasional otakku. Sekarang, aku menyadari juga bahwa aku tak bisa bergerak. Mantra apa yang kau gunakan Yoon Doojoon? Hmm?

ā€œKauā€¦.ā€ Apa? Apa? Hmm? ā€œDiet, ya?ā€ Lantas menarik kedua pipiku. Sial! Dia menggodaku. Tertawa terbahak seraya memegangi perut. Ia bilang bahwa wajahku sangat lucu saat ia menarik kedua pipiku tadi disela tawa. Kau puas Tuan Yoon?

Aku memintanya berhenti tertawa. Tapi ia tak mendengar. Kuberi pukulan kecil punggungnya. Aku menoyor lengannya. Ia bergeming. Hal-hal seperti inikah yang membuatmu selalu mengiringiku selama ini?

ā€œHei, tidakkah kau tau Hanbyul dan Kwangyeon menaruh perhatian istimewa padamu?ā€

Aku terdiam. Mengapa harus membicarakan masalah konyol ini? Aku tidak suka. Itu bukan urusanku. Terserah mereka siapa yang mereka suka. Itu hak mereka. Aku tak mau ikut campur.

ā€œHyaa~~! Eun~ah! Mengapa diam?ā€ Doojoon menyenggol pundakku.

ā€œInsting reportermu terlalu tinggi Tuan Yoon.ā€ Kulirik jengah dirinya.

Doojoon kembali terkekeh. ā€œTentu saja. Karena itu kau sangat beruntung memilikiku.ā€

Memilikimu? Memilikimu sebagai apa? Partner? Aku tak pernah ingin memilikimu sebagai partner, Doojoon sayangā€¦.

ā€œLalu, siapa yang kau pilih?ā€

Aku menyesap kopiku lagi. Menghabiskannya tak bersisa.

Doojoon menggoyang pundakku. Terus memanggilku. Menuntut jawaban.

Kumohon hentikan! Aku tak ingin merusak kebersamaan ini dengan pembicaraan yang hanya akan memancing keegoisanku. Jangan sekarang! Kumohonā€¦.

ā€œMereka tampan. Kau tak tertarik bahkan pada salah satu dari mereka?ā€

Aku diam. Menggeleng. Mengeluarkan suara hanya akan terdengar menjijikkan saja.

ā€œKurasa standardmu menjadi lebih tinggi sekarang.ā€

Aku mendengus. Tertawa pendek. Tidak. Kau tak setinggi itu. Kau pun tak istimewa. Ada berjuta pria di luar sana bertabiat sepertimu. Tapi sungguh malang, hanya ada satu YOON DOOJOON.

ā€œKatakan padaku! Seperti apa tipe pria idealmu sekarang?ā€

Kontan, aku menatapnya. Lurus pada dua bola mata hitamnya. Ia menatapku penuh harap. Tentu saja tentang jawabanku. Tidak. Aku yakin ia tidak sedang menunggu aku mengatakan ā€œKaulah tipe pria idealku.ā€

Ia terus mendesakku. Aku tetap diam. Masih menatapnya. Jangan salahkan aku Yoon Doojoon! Kau telah memaksaku. Kau mengerti atau tidak maksudku, aku tak perduli. Inilah jawabanku.

Jakunnya bergerak ke atas lantas ke bawah. Senyum lebarnya mengecil. Kau sudah tau jawabannya sekarang?

Di luar dugaanku. Doojoon tergelakā€”geli. Entah mengapa. Aku tak tau.

ā€œKau pasti bercanda Ryu Eun!ā€

Aku mengerutkan kening. Begitukah menurutmu?

ā€œApa maksudmu?ā€ Aku berpura-pura bodoh.

ā€œKauā€¦masihā€¦.ā€

Aku diam. Lantas terbahak. ā€œKau bercanda? Aku tak sebodoh itu Yoon Doojoon!ā€

ā€œKau berbohong,ā€ katanya lambat-lambat.

Aku terdiam lagi. Kau pun lagi-lagi berbicara seolah kau tau benar diriku. Tapi ya! Tebakanmu tepat sekali Yoon Doojoon. Aku berbohong. Lalu, apa kau mengharapkan kejujuranku? Kalau kujawab jujur, maukah kau menjadi milikku setelah itu? Ya? Tidak? Hmm?

ā€œHei! Bagaimana itu bisa?ā€

ā€œDiam kau!ā€ Aku menyumpal mulutnya dengan sepotong roti melon yang sudah kugigit sedikit. Aku berdiri memunggunginya. ā€œSebaiknya kita kembali. Waktu istirahat akan segera berakhir.ā€

——-

Aku salah. Salah mengembangkan harapan saat ia tersenyum hanya padaku kemarin. Yoon Doojoon adalah Yoon Doojoon. Aku melupakan kenyataan itu. Terbuai. Sekarang aku terbangun.

Doojoon tengah merayu Yong Bi. Tidak. Tapi itulah ia. Mulutnya manis pada siapa saja. Terutama pada wanita. Instingnya begitu kuat.

Sekarang aku tersulut. Seperti dada ditimpa berjuta beban. Berat. Aku tak kunjung terbiasa.

Mengapa aku tak juga tersadar? Harusnya ini pecut bagiku untuk melepas diri dari bayangnya. Tapi mengapa tak bisa? Aku justru hanya menginginkan ia tersenyum seperti itu padaku. Mendekatiku. Merayuku. Egoku begitu besar untuk memilikinya. Mengapa bukan melupakannya?

Aku tersentak. Kwangyeon menyentuh lenganku. Ternyata ia sudah memanggilku berulang kali. Aku tak mendengarnya.

Aku melupakan, bahwa aku sedang bersama Kwangyeon di meja kerjanya. Tadi aku datang dan memeriksa gambar hasil tangkapannya tempo hari. Tapi aku justru terjun dalam luapan api cemburu saat mendengar percakapan singkat antara Doojoon dan Yong Bi yang tak jauh dari tempatku dan Kwangyeon berada.

“Editor Ryu melamun?”

Aku menggeleng. Kwangyeon menatapku sangsi. Ada yang salah, nak?

“Editor Ryu berbohong. Aku tau itu,” selorohnya lantas tersenyum. Seolah bangga karena merasa sudah berhasil menebakku. Ya, kau patut merayakannya Kim Kwangyeon.

Kubiarkan ia dengan kebahagiaannya sejenak. Takku acuhkan dia. Mataku terpaku pada foto-foto karya Kwangyeon. Tapi tidak dengan fikiranku.

“Apa Editor Ryu?”

Aku melirik Kwangyeon sejenak. “Apa yang apa?” tanyaku jengah.

“Mengapa melamun?”

Aku mengerutkan kening. Risih. Ada apa dengan bocah ini? Mengapa dia selalu bertanya padaku? Tidakkah ia lelah? Tidakkah ia memiliki pertanyaan-pertanyaan yang lebih bermanfaat selain berusaha mengurusi kehidupan orang lain?

“Jangan gunakan foto ini!” Aku menunjuk sebuah foto di layar notebook. “Tidak sesuai dengan tema,” lanjutku lantas meninggalkan Kwangyeon begitu saja.

Tapi teriakan Hanbyul membekukan gerakanku. Ia mengatakan bahwa ada seorang wanita cantik yang tengah menunggu Doojoon di lobi.

Siapa? Siapa wanita itu? Mengapa mencarinya? Ada hubungan apa di antara mereka?

Oh, tidak. Mengapa baru bekerja dengannya terasa begitu sulit? Sampai kapan aku harus menjalani hidup seperti ini terus? Sampai kapan aku akan bertahan?

“Wanita itu cantik sekali. Kekasihmu, ya?”

Tidak! Aku tidak ingin telingaku mendengar. Tuli saja! Tuli!

Gila! Aku hampir gila. Keingintahuan menguasaiku. Sementara aku takkan bisa menerima jawaban terburuknya. Kumohon. Seseorang lakukan sesuatu! Tidak. Aku harus melakukan sesuatu. Tapi-

“Dia tunanganku.”

Aku tumbang. Hatiku. Jiwaku. Remuk. Semua yang kulihat nampak berputar. Berputar dan…menertawakanku? Kebodohanku?

Sesak. Dimana udara? Siapa yang merebutnya? Mengapa begitu serakah? Aku butuh. Aku butuh udara. Beri aku udara!!

Mengapa begitu jahat? Mengapa mencekikku juga? Jangan lebih menghancurkanku lagi! Tidak. Aku tidak siap.

Banyak hal mulai terdengar dalam otakku. Aku kehilangan kendali. Hanya kata-kata manismu membelaiku. Hanya kau yang bisa. Kau dan khayalan adalah nyata bagiku.

“Aku juga mencintaimu. Tapi kau dan aku tak bisa bersama. Mengertilah, Ryu Eun.”

Suaramu terus terdengar dalam otakku. Aku tak bisa mendengar dengan telinga lagi. Aku hanya bisa mendengar suaramu saat itu.

Tidak. Aku tak pernah membayangkan hal seperti ini. Tak bisa. Terlalu takut. Aku hanya selalu berharap suatu hari kau akan datang dan mengatakan bahwa kau mencintaiku. Memintaku untuk di sisimu. Bukan jawaban seperti ini. Aku tak siap dan tak akan pernah.

Mimpi…. Bangunkan aku dari mimpi ini! Kumohon….

——

Hujan membasahiku. Kubiarkan jutaan tetesan air itu memelukku dalam dingin. Tapi tak juga membawa pergi semua sakit dan ingatan tentangnya. Panas pada hati dan otak enggan beringsut.

Aku berjalan sejauh kubisa. Mungkin sampai lelah. Mungkin sampai terlupa. Mungkin sampai entah.

Aku tak bisa lagi mengendalikan diri. Ada jaringan dalam otakku yang sepertinya mengalami kerusakan. Banyak hal yang mendatangi ingatanku secara acak. Terus berganti. Berulang.

Aku melihat punggungnya yang tinggi, lebar, hangat, dan nyaman dalam otakku. Pernah bersandar di sana. Aku masih ingat. Memeluknya erat dari belakang. Ia sedang berkendara dalam kecepatan tinggi. Tapi aku tak takut. Ada dia.

Merasakan hangat tubuhnya dengan kulit pipiku. Merasakan tanda kehidupannya dengan tanganku. Tangan hangatnya menyentuh tanganku. Menghangatkannya.

“Tenanglah. Kita akan tiba tepat waktu,” katanya menenangkanku ketika itu.

Tidakkah dia tau saat itu aku tak lagi membutuhkan tiba tepat waktu? Bahkan aku rela mati, saat itu. Saat mendekapnya.

Kau begitu nyata saat itu. Tak hanya di memori.

Genggaman tanganku dingin. Dadaku nyeri. Miris. Kau tak ada saat ini. Hanya ada di memori.

Dua cangkir espresso mengepul di hadapan dia dan aku. Kepulan itu lenyap tak berbekas di udara.

Kutangkup cangkirku dengan kedua tangan. Membiarkan hangat mengaliri tubuhku. Dia menyesap espressonya.

Jauh di sana, langit pekat diwarnai gemerlap api beraneka warna. Indah. Suara letupan kecilnya mengisi keheningan kaku di antara kita yang tak biasa.

“Bagaimana kau bisa menyukaiku?” tanyanya lirih. Sangat tak mengerti.

Kebersamaan aku dan dia memang tak banyak. Tapi setiap kebersamaan itu membuatku bisa mengingat dan menyukai setiap inci tentangnya.

Aku menggeleng. Tak berani menatapnya. Masih ada enggan dalam hatiku saat harus mengungkapkan bahwa banyak alasanku mencintainya. Tidak satu. Tidak dua. Terlalu banyak. Hingga aku tak tau mana yang dapat aku jadikan ‘tapi’ sebagai penghenti perasaan hangat itu padanya.

“Aku sungguh tak menduga,” katanya lambat-lambat. “Kupikir kata-kata seperti itu hanya angin lalu bagimu. Kau berbeda dengan-“

“Aku juga tetap seorang gadis. Bagaimana pun tak acuhnya diriku,” selaku.

Ia terdiam. Mungkin memikirkan kata-kataku. Aku di matanya adalah gadis cuek dan tak memiliki keanggunan sedikitpun. Itu mengapa ia lupa aku juga gadis biasa.

Ia meminta maaf padaku. Aku tak suka. Untuk apa? Tak ada yang salah.

Apa dia menyesal membuatku mencintainya? Tidak. Bukan dirinya. Tapi aku yang membiarkan hatiku menerimanya.

Bulir-bulir air mata berkejaran dengan tetes hujan. Sakit. Sangat sakit. Aku menekan dada. Sesenggukan.

Aku tak bisa menghentikan memori usang yang terus kembali. Satu per satu. Tak berhenti.

Aku menggigit bibir bawah. Masih ingat. Permukaan bibirnya menempel pada bibirku. Ada kehangatan yang mengaliriku dengan cepat. Manis. Pahit. Aku tidak sedang menyesap coklat panas ataupun espresso. Terlebih ramyeon. Hangat itupun terasa begitu berbeda. Bagaimana bisa seperti itu?

Tidak. Sama sekali tak ada hubungan seperti itu antara aku dan dia. Tak pernah ada. Aku pun masih tak mengerti hinggi kini. Mengapa ia melakukannya?

Sudahkah kukatakan bahwa aku adalah manusia terbodoh saat menghadapi Yoon Doojoon?

Aku membeku saat itu. Tak ada yang kulakukan. Tak bisa. Jujur. Aku menikmatinya. Aku berharap.

Kupejam mata sejenak. Aku merasakan lagi kehadirannya. Ia yang mengecup lembut ujung hidung lantas keningku. Mengusap ujung kepalaku dan tersenyum. Manis.

Lupakan aku. Kau pantas mendapatkan yang lebih baik.”

Suara itu menusukku. Nyaris membunuhku. Atau mungkin sudah?

Melupakan dirinya? Ya…. Aku berfikir hal itu benar-benar mudah saat itu. Lantas fikiran bukanlah kenyataan. Perasaanku terlalu nyata. Aku sulit menghapusnya.

Kecupan-kecupan kecil itu harusnya cambuk bagiku. Cambuk yang menyadarkanku dari betapa brengseknya ia. Tapi takkan pernah ada yang tau dengan hati bukan? Aku tak tau mengapa hatiku justru kian kesulitan melepasnya. Terus saja memberikan ‘tapi’. Terus saja mengikatnya. Ini konyol dan ini nyata!

Aku terus berjalan tanpa arah. Aku tak tau di mana. Tak bisa berfikir. Kakiku sakit. Tapi masih lebih hatiku.

Aku melihat diriku yang menyedihkan di masa lalu. Sangat menjijikkan.

Aku meraih tangannya. Menatap sendu dirinya. Menahan tangis. Mengendalikan diri agar suara tak bergetar.

“Tidak bisakah kau mencobanya?”

Ia menggeleng. Mengatakan bahwa ia tak yakin bisa menjalani satu ikatan. Mungkin ia juga mencintaiku. Tapi ia tak yakin bisa membahagiakanku. Lebih lagi, jika itu adalah hubungan yang terpisahkan jarak.

Ia melepas tanganku. Lantas menjauh. Terus menjauhi aku yang bodoh, karena hanya termangu. Melepasnya pergi, meski tak rela.

Aku masih ingin terus melangkah. Tapi tidak dengan kakiku. Aku terduduk. Rintik air langit semakin menghujam keras bumi.

Aku meraung. Menangis sekencang-kencangnya. Aku mendengar dengan otakku lagi saat ia mengatakan wanita itu adalah tunangannya.

Aku memukul dada dengan sebelah tangan. Keluarlah! Keluarlah dari hatiku! Jantungku! Nafasku! Urat nadiku! Fikiranku! Tidak! Jadilah milikku!

Mengapa harus wanita itu? Mengapa bukan aku? Mengapa tak memberiku kesempatan untuk membuatmu jatuh padaku? Mengapa?

Aku mendengar suara-suara keras yang memekakkan telinga. Berdengung. Berderu. Bergema. Entah suara apa. Mungkin lalu lalang kendaraan? Aku tak perduli. Tak mau tau yang lain. Ini terlalu sakit. Sangat.

Pandanganku menjadi silau tiba-tiba. Suara dengungan itu menjadi lebih panjang dan memekakkan telinga. Sangat silau dan….

FIN

XD Sekian ceritanya. Bagaimana nasib Ryu Eun selanjutnya, saya serahkan ke imajinasi readers sekalian…. ^^

Banyak hal yang bisa terjadi, baik yang mungkin dan tidak. Selamat berimajinasi seliar mungkin! ^O^9 #kabur

*Author ga bertanggungjawab ^^v

Oh, ya. Maaf banget kalau akhir-akhir ini tema OS yang aku post temanya mirip-mirip. Tapi aku berusaha buat tetep ngasih kesan yang berbeda ke setiap ceritanya…. Maaf kalau juga mengecewakan hasilnya. Hope you like it! ^^

Wish all of you can take some good learning… ^^

Seperti biasa. Ditunggu saran dan kritiknya ya..

Penulis:

Just a girl that too love to Lee Eunhyuk XD

8 tanggapan untuk “(FF) TATTOO / ONE SHOT

  1. Miris hati si Editor… Doojoon tinggalin Ryu karena apa thor??? Sequel donk thor… Habis, tanggung banget cerittanya XD

    1. Hahahaha.ā€¦ karena doojoon jd cow galau di sni šŸ˜€ #plak
      Sequel? Uhmm aku pertimbangkan. Blm ada ide sih ^^v
      Makasih ya chingu komennya. Jgn kapok komen ffku šŸ˜€

      1. Tenang aja thor… ga bakal kapok, kalau FF chapternya pada tuntas semua… apalagi yg Mine lhooo… *plaaak
        Aku juga author lhooo…. *ga ada yg nanya* Jadi, have fun aja buat nyari idenya… *smirk*

    1. nasib Ryu Eun?
      Sebenarnya emang sengaja bikin endingnya ngegantung sih.. hehe…
      buat sequelnya sebenarnya pengen, tapi belum dapet ide yang pas… ^^v
      makasih buat komennya ya… jangan kapok2 mampir ke blog ini…

Tinggalkan komentar